Search
Search

Belajar dari Masyarakat untuk Atasi “Yogyakarta Darurat Sampah”

Persoalan “darurat sampah” di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang berujung justru masyarakat yang disalahkan.
Text : Bambang Muryanto
Foto : Kurniadi Widodo
Senin, 13 November 2023

 Akar persoalan “darurat sampah” di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah pemerintah tidak pernah menerapkan kebijakan pengelolaan sampah secara serius, hanya angkut dan buang. Tetapi justru masyarakat yang disalahkan. Padahal asal ada sistem, infrastruktur, dan manfaat yang jelas, masyarakat bisa mengelola sampah dengan baik

*

Minggu pagi (3/9) yang cerah, Muna (12) dan empat teman sebayanya berjalan kaki dari rumah menuju Masjid Al Muharram di Dusun Brajan, Tamantirto, Kabupaten Bantul, Provinsi DIY. Mereka membawa beberapa galon bekas air kemasan dan meletakkannya di samping masjid.

Hari Minggu pertama adalah jadwal bagi warga Dusun Brajan memberikan sedekah sampah yang dikelola takmir Masjid Al Muharram. Ananto Isworo, ketua takmir, mengumumkan melalui pelantang suara di masjid, “Bagi warga yang sudah memilah, bisa mengantarkan sampahnya ke masjid atau menghubungi petugas sampah. Waktunya mulai pukul 08.00 hingga 11.00.”

Di samping masjid, relawan sedekah sampah mulai dari anak, remaja hingga orang tua dengan cekatan memilah sampah yang sudah disetorkan. Mereka meremas botol plastik, melipat kardus, mengumpulkan sampah besi, memasukkan ke dalam karung, dan menyimpan di gudang. Mengendarai alat angkut beroda tiga, relawan berkeliling mengambil sampah lagi dari rumah-rumah warga. Muna dan kawan-kawannya ikut membantu. “Saya senang [jadi relawan] karena bisa membantu dan bermain-main,” ujar Nisa (12). Setiap kali muatan penuh, ‘pasukan sampah’ menyetorkan ke masjid. Hari itu mereka berkeliling hingga empat kali putaran.

Warga dari berbagai lapisan umur bersama-sama bekerja memilah sampah dalam kegiatan sedekah sampah yang rutin dilaksanakan di Masjid Al Muharram, Dusun Brajan, Tamantirto, Bantul.
Anak-anak turut antusias mengikuti proses pengambilan sampah dari rumah-rumah warga sekitar Dusun Brajan, Tamantirto, Bantul (3/9).

Melewati lorong-lorong berdebu, ‘pasukan sampah’ itu berhenti di rumah-rumah warga yang sudah menyiapkan sampah anorganiknya. Ada botol plastik, besi dan bahkan televisi rusak. Kasmi Lestari (43) berdiri di depan rumah sederhananya, menanti ‘pasukan sampah’ lewat. Sudah bertahun-tahun ia sedekah sampah. “Hasil penjualannya bisa membantu warga kurang mampu, misalnya janda dan anak tidak mampu,” ujarnya.

Lain halnya dengan Murjiman (56). Ia mengumpulkan sampah rumah tangganya dan yang ia punguti di jalan sekitar rumahnya. Memang ia tak mendapatkan keuntungan finansial, tetapi kebiasaannya itu membuat lingkungannya menjadi bersih. “Saya bisa ikut sedekah. Hasilnya bisa menyantuni warga yang dirawat di rumah sakit, Rp500 ribu per orang dan membeli sembako untuk warga tidak mampu,” imbuhnya.

Program sedekah sampah Masjid Al Muharram adalah hasil kerja keras Ananto Isworo. Sekitar 2013, ia bersama Triyono—dosen di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yang menjadi ketua seksi Lingkungan Hidup di kampung—merumuskan pengelolaan sampah untuk sedekah. Idenya tidak langsung berjalan mulus karena ada kekhawatiran masjid menjadi kotor. Ananto memulai dengan mengumpulkan sendiri sampah bekas bungkus makanan buka puasa bersama. Ketika Ramadan usai, hasil penjualan sampah sebesar Rp500 ribu ia gunakan untuk membayar uang sekolah delapan anak keluarga miskin.

Sejak itu warga Brajan mau mengikuti program sedekah sampah dengan belajar memilah, menyerahkan sampah anorganik, bahkan menjadi relawan. “Masjid Al Muharram adalah masjid pertama di dunia yang melakukan pemilahan sampah dari para jamaahnya,” ujar Ananto dengan yakin. Ia berjuluk “ustad sampah” karena kerap berdakwah tentang sampah.

Kini sampah yang dikumpulkan tiap hari Minggu pertama dan ketiga bisa dijual dengan harga antara Rp500 ribu hingga Rp800 ribu. Dengan kegiatan itu pula, sudah satu dekade, sampah warga Brajan berhenti ikut memenuhi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Regional Piyungan yang dikelola Provinsi DIY.

Ananto Isworo, Ketua Takmir Masjid Al Muharram Dusun Brajan, Tamantirto, Bantul. Sejak 2013 Ananto memprakarsai gerakan sedekah sampah yang dilaksanakan pada hari Minggu pertama dan ketiga setiap bulan di halaman samping masjid.
Seorang warga lansia membawa sampah yang telah ia pilah untuk diberikan ke kegiatan sedekah sampah di halaman Masjid Al-Muharram, Dusun Brajan, Tamantirto, Bantul (20/8).

TPA Regional Piyungan ditutup

Menjelang akhir Juli lalu, beberapa sudut Kota Yogyakarta yang jadi tujuan wisata favorit di Indonesia tiba-tiba “berhias” tumpukan sampah. Selain merusak keindahan, bau busuknya menusuk hidung. Tumpukan kantong sampah berisi campuran sampah makanan (organik) dan aneka plastik (anorganik) milik warga sudah teronggok berhari-hari.

Tumpukan sampah di pinggir-pinggir jalan Kota Yogyakarta sempat viral di media sosial, dengan kata kunci ‘teror sampah’. Teror sampah terjadi setelah Sekretaris Daerah Provinsi DIY, Beny Suharsono mengeluarkan surat No.658/8312. Isinya TPA Regional Piyungan di Kabupaten Bantul penuh, sehingga harus ditutup mulai 23 Juli hingga 5 September. Akibatnya, sampah dari Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul tidak bisa dibawa ke sana. “Mohon kerjasama kabupaten/kota untuk mengambil langkah-langkah penanganan sampah secara mandiri di wilayah masing-masing,” tutup Beny dalam surat itu.

TPA Regional Piyungan yang digunakan sejak 1996 itu memiliki luas 8,2 hektar dan bisa mengolah sampah sebanyak 650 ton per hari. Balai Pengelolaan Sampah Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi DIY mencatat sejak 2021 volume sampah masuk mencapai 700 ton per hari. Proporsinya, 42% berasal dari Kabupaten Sleman, wilayah padat penduduk, penuh kos-kosan dan restoran. Kedua, 34% dari Kota Yogyakarta yang juga padat penduduk serta pusat tujuan pariwisata. Sedangkan sisanya, 24% berasal dari Kabupaten Bantul.

Di TPA Regional Piyungan sampah tidak dipilah. Dengan sistem landfill, sampah organik dan anorganik ditimbun, diratakan, dan ditutup tanah. Tidak adanya pemilahan padahal lebih dari 54 persen sampah adalah organik membuat sampah di TPA Piyungan cepat menggunung. Sistem pemilahan semestinya sudah dimulai dari sumber sampah, termasuk dari rumah tangga.

Ketika TPA Regional Piyungan ditutup, depo penampungan sampah di kota dan kabupaten juga tutup. Warga yang selama ini bergantung pada jasa pengambilan dan pembuangan sampah tidak tahu ke mana harus membuangnya. Pemerintah kota dan kabupaten belum memiliki solusi. Warga yang belum teredukasi pemilahan sampah mengambil jalan pintas dengan membuang sampah di pinggir jalan. Kebanyakan dengan sembunyi-sembunyi. Selain itu, sampah mereka bakar.

Warga berbondong-bondong menghampiri truk pengangkut sampah yang baru tiba di Tempat Penampungan Sementara (TPS) Tamansari untuk membuang sampah mereka (5/9). Ditutupnya TPA Regional Piyungan pada periode 23 Juli - 5 September lalu mengakibatkan antrian dan tumpukan sampah semakin banyak ditemui di berbagai titik di Kota Yogyakarta.

Di Kotagede, seorang pengambil sampah dari warga membakar sampah di sebuah tong saat sore hari. Asapnya terbang tinggi dan menyelinap masuk ke rumah-rumah tetangga dan membuat sesak napas. Berbagai media massa melaporkan polusi udara di Yogyakarta memburuk setelah TPA Regional Piyungan ditutup.

Tentu saja situasi ini meresahkan. Warga melakukan protes melalui lini akun media sosial dan juga turun ke jalan. Sekelompok aktivis peduli lingkungan menggelar aksi di depan kantor Gubernur DIY dan melanjutkannya di Titik Nol. Mereka membentangkan spanduk bertuliskan “Tirakatan Uwuh, Jogja Darurat Sampah. #Pulihkanjogja”.
Di bawah terik matahari, Nur Kholis dari Lembaga Konsumen Yogyakarta (LKY) mengatakan Pemerintah DIY berhasil jadi istimewa karena Yogakarta paling parah sampahnya. “Kita bersyukur punya pemerintahan yang tidak berguna sama sekali,” teriaknya saat orasi.

Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X menyalahkan pemerintah kabupaten/kota yang belum membuat pengelolaan sampah secara mandiri, padahal sudah diingatkan sebelumnya.  Dikutip dari Harian Jogja (25 Agustus 2023), ia juga mempersilakan pemerintah kabupaten/kota jika mau menghukum warga yang membuang sampah sembarang atau membakarnya. “Masyarakat sendiri sudah terlalu manja, sudah sekian puluh tahun difasilitasi, begitu ditutup bingung dewebiarin saja kita juga harus mendidik masyarakat jangan dimanjakan gitu,” ujarnya.

“Benarkah masyarakat biang keladinya? Sepertinya pemerintah juga punya andil menciptakan persoalan sampah.”

Peneliti dan dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM), Daud Arie Ristiyono dalam tulisannya di laman detik.com menyatakan komposisi terbesar sampah di DIY berasal dari rumah tangga (organik 56%) sehingga individu mempunyai tanggung jawab mengelola sampah rumah tangganya. Tetapi ia mengingatkan sampah adalah persoalan struktural (ada peran pemerintah) bukan individu semata. “[Sejauh ini] Pemerintah Provinsi DIY dan kabupaten/kota hanya melakukan bare minimum dalam pengelolaan sampah. Mereka sebatas menyediakan/mengeloa TPA/TPS, mengadakan jasa angkut sampah, dan membuat regulasi melalui beberapa perda tentang pengelolaan sampah.”

Dalam tulisan “Menyelesaikan Sampah dari Hulu” (Kompas.id 14 Agustus 2023), Ahmad Nashih Luthfi—peneliti dan pengajar di Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN)—mengamini persoalan struktural ini, selain ada juga persoalan kultural yaitu rendahnya kesadaran dan praktik baik masyarakat dalam mengelola sampah.

Pengangkutan sampah di Tempat Pembuangan Sementara (TPS) Tamansari, Kota Yogyakarta (5/9).

Belajar dari masyarakat

Ada baiknya jika pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota belajar mengelola sampah dari masyarakat seperti di Dusun Brajan. Mereka bisa mengelola sampah dengan baik karena ada pemimpin yang secara nyata mampu menunjukkan bahwa sampah bisa membawa manfaat jika dikelola dengan benar.

Di Kota Yogyakarta ada Bank Sampah “Tangan Uthik” (tangan yang selalu bergerak) di Kelurahan Kadipaten yang juga bisa jadi rujukan. Konsistensi, dedikasi, dan ketegasan pengurus menjadi kunci pengelolaan sampah yang berkelanjutan.

Beberapa kartupos cyanotype buatan peserta lokakarya yang sedang dijemur. Material yang digunakan sebagai bahan lokakarya merupakan sampah yang sebelumnya dikumpulkan oleh tim Trash Hero Yogyakarta dari Pantai Parangtritis.
Seorang peserta menyusun komposisi material karya yang ingin ia buat dalam lokakarya kartupos cyanotype kerjasama Afdruk 56, Panen Apa Hari Ini, dan Trash Hero Yogyakarta di Ruang Mes 56 (25/8). Sejumlah seniman dan aktivis merespon isu sampah di Yogyakarta melalui medium seni, baik sebagai bentuk kritik maupun sarana edukasi.

Tangan Uthik adalah salah satu bank sampah yang berdiri sejak 2010 dan masih bertahan hingga sekarang. Koordinatornya, Sukarsih (57), mengatakan anggotanya mencapai 70 orang tetapi yang rutin menyetor hanya 22 orang. Sebagian besar warga langsung memberikan atau menjual sampahnya ke tukang rongsok keliling.

Setiap hari Minggu, antara pukul 09.00, anggota menyerahkan sampah anorganiknya ke rumah merangkap kantor Sukarsih. Sampah-sampah itu kemudian Sukarsih pilah, bungkus dengan rapi, dan letakkan di teras rumah, menunggu pelapak mengambilnya. Untuk sampah organik seperti sisa makanan, warga sudah mampu mengolahnya menjadi pupuk kompos. Dengan menjadi anggota bank sampah, otomatis warga sudah memilah sampahnya.

Sukarsih kemudian mencatat semua jenis sampah dan harganya di buku tabungan bank sampah. Semakin banyak seseorang menyetor sampah, saldonya semakin bertambah. Rata-rata setiap orang mendapatkan Rp400 ribu hingga Rp500 ribu selama setahun. “Biasanya mereka mengambil uang setahun sekali, menjelang lebaran,” ujarnya.

Contoh teladan pengolaan sampah lainnya ada di Desa Panggungharjo, Kabupaten Bantul. Lurah mereka, Wahyudi Anggoro Hadi, visioner dalam mengelola sampah. Ia merintis sistem penanganan sampah dari hulu hingga hilir. Hasilnya bisa menjadi sumber pendapatan desa.

Sejumlah petugas tengah memilah sampah di hanggar Kelompok Usaha Pengelolaan Sampah (KUPAS) Desa Panggungharjo, Bantul (30/8). Unit usaha yang mempekerjakan 45 orang ini mampu mengolah sampah dari sekitar 2000 KK di Panggungharjo.
Seorang petugas memasukkan sampah ke mesin pencacah di hanggar Kelompok Usaha Pengelolaan Sampah (KUPAS) Desa Panggungharjo, Bantul (30/8).

Ide awalnya muncul ketika ia melihat jalanan di desa yang penuh sampah. Pada 2013 ia menggagas pendirian Kelompok Usaha Pengolahan Sampah (Kupas). Unit usaha ini mengolah sampah yang sudah dipilah. Sampah organik menjadi pupuk. Sampah anorganik seperti plastik diubah menjadi thermoplastik (bahan untuk membuat kemasan dari plastik). 

Masyarakat menyambut prakarsa ini dan aktif berpartisipasi. Setahun berjalan, aktivitas pemilahan sampah ini mengantarkan Desa Panggungharjo sebagai desa terbaik tingkat nasional di 2014. Satu tahun lalu, usaha ini dikembangkan. “Pak Lurah melihat usaha pemilahan sampah kami perlu dikembangkan lagi,” ujar Salva Yurivan Saragih. Bekerja sama dengan swasta, pemerintah desa membuat aplikasi digital layanan pengangkutan sampah dari rumah warga, bernama Pasti Angkut.

Ada tiga bentuk layanan pengambilan sampah Pasti Angkut. Pertama, mengambil hasil pemilahan sampah organik secara gratis. Kedua, membeli sampah plastik, besi, kaca, dan rongsokan lainnya. Ketiga, mengenakan biaya Rp1.500 per kilogram untuk sampah residu, yaitu sampah yang tidak dipilah dan plastik yang tidak dapat didaur ulang. “Ini cara kami mengedukasi masyarakat agar bertanggung jawab atas sampahnya,” imbuh Salva, Direktur Pasti Angkut.

Semua sampah dibawa ke Kupas untuk diproses. Ada ruang besar serupa hanggar di selatan kantor Desa Panggungharjo tempat mesin pemilahan sampah berkapasitas 30 ton per hari bekerja. Di sana, sampah pembalut yang lazim menjadi masalah mampu diolah menjadi bahan sebagai pengganti kayu.

Hingga kini jumlah klien Pasti Angkut sekira 3000 orang, 40% di antaranya adalah warga Desa Panggungharjo. Sisanya warga luar desa. Pasti Angkut memang membuka layanan bagi warga luar desa, dengan jarak maksimal 10 kilometer.

Kupas sudah ikut mengurangi jumlah sampah yang harus dibawa ke TPA Regional Piyungan. Bahkan ketika Yogyakarta mengalami darurat sampah, Kupas bisa memproses sampah nonklinis dari lima rumah sakit di Yogyakarta.

Beni mengambil sampah dari salah satu rumah warga pelanggan layanan Pasti Angkut (30/8). Setiap harinya ia mengambil, menimbang, dan mencatat dengan cermat sampah di lebih dari 150 titik penjemputan di rute yang ia lewati, sebelum akhirnya menyetor sampah yang terkumpul ke hanggar Kelompok Usaha Pengelolaan Sampah (KUPAS) Desa Panggungharjo, Bantul.
Kadino menyirami kebun komunal warga yang berada di kompleks Kelompok Usaha Pengelolaan Sampah (KUPAS), Desa Panggungharjo, Bantul (30/8). Pupuk yang digunakan di kebun ini adalah olahan dari sampah organik yang dipilah di KUPAS.

Perbaiki diri dan tidak menyalahkan warga

Masyarakat di Dusun Brajan, Bank Sampah “Tangan Uthik” di Kota Yogyakarta, dan Pasti Angkut di Desa Panggungharjo sudah menjalankan pengelolaan sampah dengan bijak karena ada sistem dan manfaat yang jelas dirasakan.

Menyalahkan dan menghukum warga terkait darurat sampah tidak akan menyelesaikan masalah. Ahmad Nashih Luthfi bersepakat dengan Daud Arie, bahwa pemerintah sendiri belum serius membuat kebijakan penanganan sampah.

Mengutip Dokumen Pelaksanaan Anggaran Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan DIY 2023, Ahmad Nashih mengungkapkan anggaran untuk TPA Regional di DIY adalah sekira Rp 38,4 milyar. Anggaran untuk kebutuhan primer ini sangat kecil dibandingkan untuk urusan kebudayaan (tersier) yang mencapai Rp755 milyar (2021) dan Rp898 milyar (2022).

Tenti Novari Kurniawati, Ketua Perkumpulan Idea, menyoroti anggaran untuk TPA di DIY yang hanya sebesar Rp38,4 milyar itu baru terserap Rp6,6 milyar atau sekira 17% per Mei 2023. Masih ada sisa Rp32 milyar yang belum dibelanjakan hingga akhir 2023. “Konsistensi kebijakan perencanaan dan penganggaran masih kurang,” ujarnya.

Para ahli anggaran mengatakan, besaran anggaran adalah salah satu indikator kebijakan yang serius. Dalam kasus di Provinsi DIY, selain anggaran kecil, serapan untuk program juga lambat.

Sesuai UU No.18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, tugas utama pemerintah adalah berupaya meningkatkan kesadaran dan memfasilitasi masyarakat untuk mengurangi, menangani, dan memanfaatkan sampah secara partisipatif. Ada banyak pilihan kebijakan, salah satunya adalah menyiapkan infrastruktur agar masyarakat bisa memilah sampah rumah tangganya.

Sejumlah relawan tengah mengumpulkan sampah plastik di Alun-Alun Selatan Yogyakarta (3/9). Kegiatan ini merupakan agenda rutin mingguan yang dilakukan oleh Trash Hero Yogyakarta sebagai cara edukasi ke pengunjung alun-alun.

Pemilahan sampah sejak dari rumah tangga (hulu) akan menghindari terulangnya kasus TPA Regional Piyungan yang cepat penuh, jadi sumber bau busuk, air lindi (beracun) yang mencemari lingkungan, dan jadi pusat produksi gas metana (CH4). 

Sukirno, Dosen Fakultas Biologi UGM, mengatakan gas metana terjadi ketika sampah yang tidak dipilah ditimbun terus-menerus. “Gas ini itu terbentuk secara maksimal jika bahan organik terfermentasi oleh mikroba negatif dalam situasi tanpa ada udara atau anaerob.”

Dalam situasi krisis iklim, tempat pengolahan sampah tidak boleh menjadi sumber emisi gas metana, salah satu gas yang membuat panas matahari terperangkap sehingga meningkatkan suhu bumi. Tanpa mampu kita kendalikan, krisis iklim akan menjadi sumber segala bencana, seperti bencana alam, kekurangan pangan, kekeringan, meningkatkan kasus penyakit bervektor, dan lainnya.

Jika Yogyakarta memang istimewa, seharusnya pemerintah menerapkan pengelolaan sampah yang mampu melambatkan laju krisis iklim. Seturut filosofi memayu hayuning buwana, artinya membuat dunia menjadi indah, ramah lingkungan.

Editor Teks: Hairus Salim & Aisyah Hilal

Kami menerima kontribusi foto cerita untuk ditayangkan di situs ini. Tema yang diusung adalah seputar dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan, ketahanan dan adaptasi masyarakat serta inovasi-inovasi yang dilakukan untuk menghadapi tantangan perubahan iklim. Silakan kirimkan tautan berisi foto resolusi rendah, teks, dan profil singkat ke submit@iklimku.org. Kami akan segera memberi tanggapan kepada Anda. Terima kasih.

Kisah Terkait