Search
Search

Bom Waktu Sampah Makanan

Kerap diabaikan, sampah makanan adalah bom waktu yang siap meledak kapan saja.
Foto & Teks:
Fully Syafi & Reno Surya
Minggu, 16 Oktober 2022

Matahari di barat perlahan angslup. Hari beranjak gelap. Riuh pesta di sebuah aula mewah di Doubletree Hotel, Surabaya, perlahan mereda. Tamu-tamu menarik diri. Menyisakan onggokan sampah sisa makanan yang tampak nyaris tak tersentuh di atas meja.

Makanan itu, seluruhnya masih layak konsumsi. Namun, jika tak segera diolah, mereka akan berakhir tragis: menjadi sampah.

Seorang manajer Doubletree Hotel segera menelpon Garda Pangan, organisasi yang bekerja mendistribusikan makanan surplus. Dengan sigap, tim organisasi yang berdiri sejak tahun 2017 ini bergegas menuju hotel, mengambil, dan menyalurkan makanan sisa itu kepada masyarakat pra-sejahtera. Pada Minggu, awal September lalu, mereka menyasar pengungsi konflik isu sektarian dari Sampang, Madura yang bermukim di Rumah Susun Jemundo, Sidoarjo.

 

Proses penimbangan makanan didalam mobil saat proses ‘food rescue’ dari sebuah hotel di Surabaya. Food rescue adalah adalah upaya penyelamatan surplus makanan yang dihasilkan oleh industri ini dari potensi terbuang. Makanan berlebih tersebut akan diperiksa kembali kualitasnya, dikemas ulang, lalu dibagikan kepada masyarakat pra-sejahtera.

“Kalau jumlahnya segini, ini masih cukup buat sekitar seratus orang sih, Mas,” ujar seorang pelayan kepada reporter Iklimku.

Pemandangan gunungan sampah makanan itu, nyaris menjadi tontonan lumrah bagi para pegawai hotel. “Malah yang jarang itu kalau makanannya habis. Pas. Jarang, sih,” sambungnya.

Relawan dari Garda Pangan mengumpulkan serta menimbang roti dan kue layak konsumsi dari dalam pendingin sebuah hotel di Surabaya. Makanan sisa hotel ini dikumpulkan oleh relawan untuk kemudian didonasikan bagi keluarga pra-sejahtera di Surabaya.

Indonesia memang punya masalah dengan limbah makanan. Menurut laporan bertajuk Fixing Food: Toward the More Sustainable Food System di The Economist pada 2011, Indonesia menduduki urutan kedua di dunia sebagai negara paling rajin menumpuk sampah sisa makanan.

Pada tahun sama, setiap warga Indonesia, rata-rata membuang sekitar 300 kg per tahun. Padahal, jika dibandingkan dengan data dari situs earth.org, jumlah sampah tersebut jika dikelola dengan baik dapat mencukupi kebutuhan lebih dari tiga miliar perut lapar manusia dewasa di dunia.

Relawan dari Garda Pangan mengumpulkan serta menimbang roti dan kue layak konsumsi dari dalam pendingin sebuah hotel di Surabaya. Makanan sisa hotel ini dikumpulkan oleh relawan untuk kemudian didonasikan bagi keluarga pra-sejahtera di Surabaya.

Konsentrasi pemerintah maupun kesadaran masyarakat terkait pengelolaan sampah makanan masih dapat dikatakan minim. Hal tersebut dibuktikan lewat data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) yang mencatat bahwa pada tahun 2021, sampah makanan menduduki tampuk klasemen limbah yang mengotori Indonesia. Sampah plastik, yang digaungkan sebagai perusak alam nomor wahid, berada di peringkat kedua dengan menyumbang 26,27 ton sampah. Sementara, sampah makanan berada di puncak, dengan jumlah hampir dua kali lipat dibanding sampah plastik, sebesar 46,35 juta ton.

Seperti halnya sampah plastik, ancaman dampak sampah makanan juga begitu serius. Sebab, timbulan ratusan ribu ton sampah makanan menghasilkan gas metana (CH4) sekaligus emisi Gas Rumah Kaca (GRK).

Mengacu data World Resources Institute (WRI), sampah makanan turut urun 8 persen dari emisi global. Sementara, kandungan CH4 juga berbahaya. Ia memiliki potensi 25 kali lebih beracun dari karbon dioksida. Sekaligus, gas metana adalah salah satu emisi yang melecut peningkatan pemanasan global.

Tak hanya berbahaya bagi paru-paru manusia, gas metana jika tak memperoleh pasokan oksigen cukup dan tertimbun dalam waktu lama, dapat beralih rupa menjadi bom waktu.

Bom waktu bukanlah metafora belaka. Kejadian satu setengah dekade silam adalah buktinya. Peristiwa maut yang merenggut ratusan nyawa manusia di Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat pada 21 Februari tahun 2005. Peristiwa itu kemudian tiap tahun diperingati sebagai Hari Peduli Sampah Nasional.

Saat itu, gunungan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) meledak. Gunung yang tingginya hampir setinggi gedung pencakar langit itu, kemudian longsor dan mengubur hidup-hidup ratusan pemulung yang tengah mengais rezeki. Rumah-rumah mereka tertimbun sampah. Lebih dari 140 orang tak berhasil diselamatkan nyawanya.

Kabar tentang tragedi Leuwigajah beredar menjadi berita utama di portal-portal berita. Minanto, seorang pemulung di Surabaya, masih mengenang peristiwa itu dengan getir. Ia sempat tak berani bekerja selama berhari-hari. Pria berusia 58 tahun itu waswas gunungan sampah di TPA Benowo, Surabaya juga akan meledak.

“Berita itu [peristiwa Leuwigajah] tersiar di koran-koran, radio-radio. Nah, kalau di sana saja bisa meledak, di [Benowo] sini juga bisa saja terjadi, kan? Di sini gunung sampahnya kan lebih tinggi, ya?” kata Minanto.

“Waktu itu baru tahu kalau sampah itu bisa meledak. Jadi bayangan itu aneh-aneh,” lanjutnya.

Jarak antara rumah Minanto dengan gunungan sampah TPA Benowo kurang dari 4 km. Ada perasaan waswas tatkala ia melihat timbunan yang tingginya berkali-kali lipat dari atap rumahnya itu.

“Kemudian saya melawan ketakutan itu, karena ada anak dan istri yang butuh makan, butuh uang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari,” ujarnya.

Peristiwa Leuwigajah memberikan pengetahuan baru bagi Minanto. Ia berkaca, bahwa limbah sampah tak hanya mengancam paru-parunya yang kerap sesak menghirup asap insinerator. Sampah juga mengandung metana, bisa meledak, dan meluluhlantakkan sekitarnya.

Sebagai seorang pemulung, Minanto memilih menghindar dari area timbunan sampah makanan. Sebab menurutnya, tak ada potensi ekonomi yang bisa dihasilkan. Tanah di area sampah makanan cenderung lembek. Aromanya pun lebih menyengat.

“Diolah pun enggak bisa. Harganya juga enggak ada. Jadi, buat apa?” katanya.

Pekerja kebersihan mengumpulkan sampah sayur dan buah yang dibuang oleh pedagang pasar Mangga Dua,Surabaya. Sortasi kondisi buah dan sayur selalu dilakukan oleh pedagang sayur dan buah dan membuangnya karena kondisi tidak sempurna dari barang dagangan. Setiap hari 10 hinga 14 ton sampah sayur dan buah dihasilkan oleh salah satu pasar terbesar di Surabaya ini.

Siasat Kecil

Berbeda dengan Minanto, Hasto Wibowo (52) justru berfokus untuk memungut sayur dan buah di pasar-pasar besar di Surabaya. Ia akan berangkat pada pagi buta menuju Pasar Keputran, menanti di sekitar truk pengangkut sampah untuk mengambil sayur dan buah apkiran untuk dibawa pulang.

Hasto tak sendirian. Ada orang-orang berprofesi serupa yang telah menanti hibah sisa barang dagang pasar untuk diolah kembali. “Beberapa barang ini yang busuk kadang hanya luarnya. Yang tidak layak makan bisa disortir, dikupas dan dibuang. Sisanya bisa dipakai untuk masak dan pakan ternak. Lumayanlah buat tambah-tambahan,” terang Hasto.

Saban hari ia membawa pulang beberapa keranjang penuh yang sebagian besar isinya sayuran dan buah-buahan. Sebagian berwarna pucat, tetapi ketika ia kupas, dalamnya masih tampak segar dan layak santap.

Hasto menunjukkan proses sortir dan pengolahan. Dia mengambil sebuah pisau lipat dari sakunya, mengupas pelan-pelan sebuah tomat berkelir merah hampir kecoklatan, memotong bagian berwarna hitam dan membuangnya sebelum mengunyahnya.

“Nah, masih bisa dimakan ‘kan? Enggak mati ‘kan?” celetuk kelakar Hasto disambut tawa kawan-kawannya.

Proses daur ulang bahan dasar pangan, seperti yang dilakukan Hasto, adalah salah satu jalan keluar pengelolaan yang jitu. Food waste tak hanya menyoal perkara terbuangnya produk makanan siap santap ke tong sampah. Bahan dasar makanan yang tak laku di pasaran juga dapat dikategorikan sebagai food waste.

Di Pasar Keputran Surabaya misalnya, menurut Budiono, koordinator kebersihan pasar Keputran, setiap hari setidaknya ada sekitar tujuh hingga delapan ton sayur dan buah yang berakhir menjadi onggokan sampah di TPA.

“Mayoritas yang cepat untuk dibuang adalah sayur. Karena tampilan jika kurang menarik juga pembeli enggak minat. Adanya teman-teman kayak Pak Hasto begini justru membantu. Daripada terbuang sia-sia mending diolah,” kata Budiono kepada Iklimku.

Emisi GRK yang menguar dari limbah pangan dalam kurun waktu dua dekade terakhir mencapai 1.702,9 Megaton CO2-ekuivalen. Angka gabungan dari food waste & food loss itu menyumbang sekitar 7,29 persen rata-rata emisi GRK saban tahunnya. Jika mengacu pada data, di Indonesia setiap tahun ada sekitar 250 ribu ton bahan dasar pangan yang terbuang percuma.

Kerja-kerja Hasto dan kawan-kawan seprofesinya, merupakan siasat kecil untuk menekan kemungkinan gunung sampah makanan semakin meninggi.

FS_FOODWASTE_010
Seorang warga mengumpulkan limbah sayuran yang masih layak untuk dikonsumsi di TPS pasar Keputran, Surabaya. Sayuran ‘tidak sempurna’ dipungut oleh warga untuk dikonsumsi sendiri dan digunakan sebagai pakan ternak.
Tumpukan limbah sayur ‘tidak sempurna’ di pasar Keputran Surabaya. Perilaku membuang sayuran ‘tidak sempurna’ ini akan menjadi limbah dan menjadi sebuah permasalahan serius bagi lingkungan yaitu berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca.

JALAN PANJANG

Minggu, 4 September 2022, langit kota Surabaya tampak cerah. Di bawah pendar matahari yang membakar kulit, sekelompok orang berompi hijau dengan cekatan menjemput makanan sisa pesta. Karyawan hotel keluar dari pintu belakang dengan berkardus-kardus makanan di tangannya.

Dengan sigap, tim Garda Pangan segera menerima dan kemudian memboyongnya ke markas mereka di bilangan Semolowaru, untuk dihangatkan. Agar, ketika makanan-makanan itu tiba di tangan warga, kelezatannya masih terjaga.

Hari itu, tim Garda Pangan mengunjungi sebuah rumah susun di daerah Puspa Agro, Sidoarjo. Rumah susun itu adalah shelter bagi para korban konflik sektarian di Sampang, Madura. Sebagian korban memutuskan untuk kembali pulang ke Sampang pada awal tahun lalu, tetapi, sebagian lain masih berada di rusun dan menanti saat tepat untuk kembali menapakkan kaki ke kampung halaman.

Di tengah selasar, orang-orang mengantre. Tim Garda Pangan membagikan pusparagam makanan. Air muka gembira tak mampu disembunyikan warga yang menerima bantuan. Seorang warga mengatakan bahwa bantuan semacam Garda Pangan ini membantunya untuk mengirit pengeluaran. Sebab, selama menjadi pengungsi, tak seluruh warga dapat mengakses pekerjaan formal. Sebagian besar bekerja serabutan. Mayoritas para pengungsi bekerja sebagai perajin aneka ragam kerajinan dari sabut kelapa.

“Senang, sih, ketika ada Garda Pangan ke sini. Jadi saya juga bisa berhemat, dan juga bisa dapat banyak makanan. Salah satunya makanan favorit saya, ayam goreng!” ujar Amama, perempuan berusia 36 tahun, salah satu penghuni Rusun.

 

Hidup di satu ruang dengan saudara yang bernasib sama, warga Rusun Puspa Agro memiliki kultur berbagi makanan. Biasanya, jika memiliki stok makanan berlebih, warga terbiasa membagikan dengan tetangga sekitar.

Sementara, sisa-sisa nasi, dikeringkan untuk dijadikan karak, bahan dasar kerupuk rengginang. Siasat klasik, tetapi cerdik tersebut, telah dipraktikkan masyarakat Rusun Puspa Agro selama bertahun-tahun.

FS_FOODWASTE_009
Seorang relawan dan warga membawa makanan yang dibagikan oleh relawan Garda Pangan di Surabaya. Membagikan makanan hasil ‘food rescue’ kepada warga ini sebagai upaya untuk mengurangi tingginya limbah makanan yang dihasilkan oleh rumah tangga dan ritel.
Relawan membagikan makanan hasil ‘food rescue’ kepada warga di Surabaya. Upaya ‘food rescue’ ini sebagai usaha untuk mengurangi tingginya limbah makanan yang dihasilkan oleh rumah tangga dan ritel.

Solidaritas pangan antartetangga merupakan solusi jitu untuk mengatasi tingginya tren sampah makanan yang terus menanjak. Berdasarkan laporan berjudul Food Waste Index Report 2021 United Nation Environment Programme (UNEP) pada tahun 2021, dari 931 juta ton sampah makanan, 61 persen berasal dari rumah tangga.

Timbulan sampah dari aktivitas rumah tangga sulit untuk dikontrol. Sebab, jumlah produksi hariannya tak begitu kentara, dan kanal-kanal untuk mengelola, seperti bank makanan, ataupun komposter sederhana, masih minim ketersediaannya. Sekaligus, edukasi tentang mengelola sampah makanan tak begitu masif. Itulah yang kemudian menjadikan sektor rumah tangga menjadi salah satu produsen sampah makanan yang cukup signifikan.

Mengacu pada data Badan Pangan Nasional (Bapanas), dalam kurun waktu dua dekade, total kerugian akibat sisa makanan setara dengan Rp 213 hingga 551 triliun per tahun. Jika sampah makanan dapat didistribusikan dengan baik, angka tersebut dapat mengganjal perut lapar 61 juta – 125 juta penduduk Indonesia.

Rusun Puspa Agro bukan satu-satunya titik sasaran donasi Garda Pangan. Organisasi yang diinisiasi Eva Bachtiar ini telah mengantongi sekitar 200 kampung yang mayoritas penduduknya masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di Surabaya.

Sebelum mendistribusikan makanan, tim Garda Pangan mula-mula akan mendata kebutuhan warga kampung tersebut. Mereka ingin memastikan bahwa kampung yang akan mereka jadikan titik donasi benar-benar membutuhkan.

“Agar donasi makanan betul-betul diakses oleh masyarakat pra-sejahtera. Selain itu juga ada penyesuaian terkait hal-hal teknis, seperti pemetaan demografi kampung. Kalau banyak muslimnya, gak bisa bawa makanan non-halal. Atau kalau lebih banyak orangtuanya, mengurangi makanan yang mengandung susu, dan sebagainya,” terang Eva saat ditemui reporter Iklimku di markas Garda Pangan di bilangan Semolowaru, Surabaya.

FS_FOODWASTE_005
Sejumlah buah jeruk yang masuk kategori ‘ugly produce’ berserakan di sebuah lahan perkebunan di kabupaten Batu, Jawa Timur. Kondisi buah tidak cantik membuat petani terpaksa membuang hasil panenan yang tampilannya tidak terlihat “cantik”.
FS_FOODWASTE_006
Sejumlah relawan Garda Pangan mengumpulkan buah jeruk jenis Baby Java saat proses ‘food gleaning di sebuah kebin jerukdi Kabupaten Malang. Food gleaning adalah mengumpulkan sisa-sisa panenan yang sengaja ditinggalkan petani di lahan, yang sebenarnya masih sangat layak dimakan, untuk mengurangi potensi sampah makanan.

Gerakan serupa juga dilakukan Aliansi Zero Waste di Solo. Titik Sasanti, Direktur Aliansi Zero Waste tengah menggalakkan sebuah program yang bekerja sama dengan Pemerintah Kota Solo terkait edukasi sampah makanan. Hati Titik tergerak sebab ia cemas melihat matriks tren sampah makanan terus menanjak saban tahunnya.

“Pertama-tama memberikan edukasi ke masyarakat. Kami bikin program ‘Jangan Rusak Bumi dari Piringmu’, yang tujuannya adalah menyentil kesadaran masyarakat terkait sampah makanan mereka sehari-hari,” terang Titik.

Seperti Garda Pangan, tim Aliansi Zero Waste juga bekerja sama dengan hotel-hotel, restoran, dan kafe untuk membantu mereka mendistribusikan sisa-sisa produk yang menjelang afkir untuk didistribusikan kepada masyarakat miskin kota lainnya.

“Tentu dengan penyortiran ketat serta pengolahan sesuai kriteria kami untuk menjamin kelayakannya dikonsumsi ulang,” imbuh Titik.

Baik Eva maupun Titik sepakat bahwa kehadiran negara diperlukan agar jalan terjal mengatasi sampah pangan lebih mudah untuk dilalui. Namun, berkali-kali upaya audiensi dengan negara berakhir menggantung menjadi wacana saja alih-alih program nyata.

Eva mengatakan tengah berupaya mendorong terbitnya policy brief tentang sampah makanan. Tujuannya untuk menekan tren limbah makanan yang konstan menanjak sekaligus mendorong donasi makanan surplus. Ia mengharapkan adanya aturan hukum terkait bagaimana pelaku bisnis makanan dapat mendistribusikan produk-produknya yang masih layak konsumsi kepada warga kurang mampu.

“Karena tanggal expired di produk-produk yang beredar di Indonesia itu, adalah anjuran tenggat konsumsi. Bukan benar-benar tidak bisa dikonsumsi. Daripada dibuang, itu bisa didistribusikan ke masyarakat yang membutuhkan,” kata Eva.

Aturan hukum yang tengah dicita-citakan oleh Eva adalah pemberian konsekuensi terhadap para pebisnis makanan. Memberikan penghargaan kepada siapa saja yang bertanggungjawab atas sampah yang dihasilkan produknya, serta memberi hukuman kepada mereka yang abai.

Beleid itu diharap mampu membuat para produsen tidak semena-mena melenyapkan produk mereka yang gagal laku di pasaran. Sekaligus memberikan aturan jelas agar produsen makanan tak ragu untuk mendonasikan sisa produk mereka kepada warga.

“Korporasi kerap takut menyalurkan produk sisa mereka, karena tak mau ceritanya tercoreng sebab produknya menjadi racun. Padahal, selama ditangani dengan benar, masalah itu dapat diatasi dengan mudah kalau aturannya jelas,” tutup Eva.

Jalan menuju reduksi sampah pangan masih panjang dan terjal. Jika negara tak cekatan mengambil sikap untuk mereduksi timbulan sampah, maka gunung-gunung sampah adalah bom waktu, yang terus tergelincir dan siap meledak di waktu yang tak terduga.

Artikel ini meraih Juara II dalam Journalist Competition 2023 – Aliansi Zero Waste Indonesia

Kami menerima kontribusi foto cerita untuk ditayangkan di situs ini. Tema yang diusung adalah seputar dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan, ketahanan dan adaptasi masyarakat serta inovasi-inovasi yang dilakukan untuk menghadapi tantangan perubahan iklim. Silakan kirimkan tautan berisi foto resolusi rendah, teks, dan profil singkat ke submit@iklimku.org. Kami akan segera memberi tanggapan kepada Anda. Terima kasih.