Raut muka Yono tegang. Dia kesal setiap mengingat kerugian akibat limbah tekstil yang mencemari padi, kebun kangkung dan singkong miliknya. “Saya lupa menutup pintu air irigasi kemarin, sawah dan kebun saya tercemar lagi. Limbah ini pasti dibuang malam tadi. Padahal, sebentar lagi mau panen,” ujar lelaki berusia 58 tahun itu.
Lahan garapan Yono terletak di Desa Sukamulya, Kecamatan Rancaekek, Jawa Barat. Wilayah ini dilintasi oleh Sungai Cikijing, salah satu anak Sungai Citarum. Selama bertahun-tahun, Sungai Cikijing telah menjadi tempat pembuangan limbah sejumlah pabrik tekstil. Bahkan kondisi saluran irigasi pun tak jauh berbeda. Sebab itu, air yang mengalir pun berwarna hitam dengan bau menyengat. “Hampir tiap hari limbah dibuang tanpa henti lewat pipa-pipa besar yang ditanam dan mengarah ke sungai,” ungkap Yono.
Selain baunya yang menyengat, limbah yang keluar pun sering berwarna warni dan bertemperatur panas. “Ini yang membuat para petani semakin kesulitan,” lanjut Yono. Hasil investigasi yang dilakukan oleh Greenpeace, Walhi dan Pawapeling pada 2012 hingga 2013 menunjukkan bahwa Sungai Cikijing telah tercemar berat. Luas sebaran pencemarannya mencapai 1.000 hektare.
Pencemaran ini telah membuat area pertanian di wilayah tersebut rusak parah, seperti yang terjadi di Desa Linggar, Jelegong, Sukamulya dan Bojong Loa. Kondisi tersebut menyebabkan turunnya produktivitas pertanian dan menimbulkan kerugian yang besar. Pada periode 2004-2015, misalnya, kerugian ditaksir menembus angka 1 triliun rupiah. Jumlah itu belum termasuk biaya pemulihan lingkungan pasca pencemaran.
Jauh sebelum tiga organisasi lingkungan itu melakukan investigasi, Balai Penelitian Tanah Bogor telah menemukan adanya indikasi senyawa kimia berbahaya di lahan-lahan petani pada 2002. Timbal (Pb) dan Cadmium (Cd) ditemukan dalam lapisan tanah sawah yang diolah oleh warga sedangkan senyawa Chromium (Cr) ada di dalam jerami dan beras. Dengan pencemaran berbahaya tersebut dibutuhkan rencana jangka panjang untuk memulihkan kesuburan tanah di Rancaekek.
Wajah sungai di Rancaekek mulai berubah sejak lima puluh tahun silam saat kawasan industri tekstil berkembang pesat di sana. Sungai kemudian perlahan berubah fungsi sebagai tempat pembuangan limbah.
Pemerintah setempat sejak 2022 telah mulai menormalisasi Sungai Cikijing. Namun, menurut Meiki Paendong, dengan kondisi yang sedemikian, butuh waktu yang cukup lama untuk memulihkan sungai dari pencemaran limbah pabrik. Terlebih jika pabrik membuang limbahnya langsung tanpa pengolahan. “Bahkan mungkin sungai tak pernah bisa kembali pulih,” imbuh Direktur Walhi Jawa Barat itu.
Sungai Cikijing tidak hanya dicemari oleh limbah yang berasal dari pabrik-pabrik tekstil saja, limbah rumah tangga pun turut andil dalam pencemaran ini. Kondisi ini menyebabkan baku mutu air kian merosot. Budidaya ikan mas yang dulu banyak dilakukan oleh warga, perlahan menghilang karenanya. Sungai Cikijing yang dulu menjadi sumber kehidupan masyarakat, kini bak menjadi sumber petaka.
Wajah sungai di Rancaekek mulai berubah sejak lima puluh tahun silam saat kawasan industri tekstil berkembang pesat di sana. Sungai kemudian perlahan berubah fungsi sebagai tempat pembuangan limbah. Situasi ini membuat para petani setempat, seperti Yono, harus merugi setiap tahun. Imbasnya, tidak sedikit petani pemilik sawah menjual lahannya dengan harga miring. Sementara sebagian buruh tani memilih pindah atau beralih profesi menjadi buruh pabrik tekstil. Padahal, wilayah ini sebelumnya adalah salah satu lumbung padi di Bandung Raya.
Beberapa saat setelah hujan turun, warna air sungai berubah dan berbau menyengat. Tidak hanya karena bau, Eti sekeluarga juga menderita sebab kepulan asap yang keluar dari cerobong.
Sejak puluhan tahun lalu, Majalaya telah menjadi salah satu sentral tekstil. Kecamatan di daerah Bandung Selatan itu bahkan disebut-sebut sebagai tonggak berdirinya Industri tekstil di Jawa Barat. Riwayat industri tekstil di kawasan ini dipelopori oleh Ondjo Argadinata dan H. Abdul Gani, dua pengusaha lokal, pada 1940an. Dua dekade kemudian, industri tekstil Majalaya mulai menempuh masa jaya. Dimulai dari memproduksi 40% total produksi kain di Indonesia hingga mengerjakan pembuatan kain dan pemintalan benang dari berbagai merek tersohor, seperti Levi’s, Calvin Klein, Cardinal, Pierre Cardin, Wrangler dan The Executive.
Pesatnya perkembangan industri tekstil di Majalaya ini membuatnya menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar bagi Provinsi Jawa Barat. Wilayah ini bahkan diberi julukan “Kota Dollar”. Namun, di sisi lain wilayah ini juga menjadi penyumbang terbesar polusi air dan udara bagi Sungai Citarum. Hampir 80% pabrik tekstil di Majalaya berada di bantaran Sungai Citarum atau anak-anak sungainya, seperti Citarik, Cikeruh dan Ciwalengke. Kondisinya, tak jauh lebih baik dari apa yang terjadi di Rancaekek.
“Hampir setiap hujan pabrik membuang limbahnya ke sungai,” kata Eti (52). Rumah Eti hanya berjarak sekitar 40 meter dari salah satu pabrik teksil di Majalaya. Lokasinya hanya dipisahkan oleh aliran anak Sungai Citarum. Beberapa saat setelah hujan turun, warna air sungai berubah dan berbau menyengat. Tidak hanya karena bau, Eti sekeluarga juga menderita sebab kepulan asap yang keluar dari cerobong.
Kesehatan dua anaknya, Elis dan Sari, terganggu. Keduanya sering mengeluhkan sesak napas dan gatal-gatal pada kulit. “Sehabis bermain, mereka pasti nangis karena keseringan menggaruk kulit hingga terkelupas,” ujarnya. Sayangnya, Eti belum mampu membawa kedua anaknya berobat ke rumah sakit. Penghasilannya sebagai pembantu rumah tangga hanya mampu untuk membeli obat dari warung.
Pencemaran lingkungan, baik oleh pabrik tekstil atau perbuatan masyarakat yang tinggal di sana, telah membuat kualitas kesehatan masyarakat sekitar lingkungan tersebut menurun.
Hasil riset Walhi Jawa Barat menunjukkan bahwa pencemaran telah terjadi di Majalaya, baik itu di air, udara dan persawahan. Dari 174 pabrik yang beroperasi saat ini, sebagian besar membuang sisa produksi tanpa melalui proses pengolahan air limbah (IPAL). Termasuk di dalamnya adalah limbah batu bara. “Pabrik pasti memiliki IPAL sebab berkaitan dengan persyaratan izin. Cuma, IPAL dijalankan atau tidak itu yang jadi masalahnya,” kata Meiki.
Di sisi lain, meningkatnya hunian, berpotensi menambah jumlah sampah masuk ke Sungai Citarum. Parahnya, hunian tersebut dibangun berdekatan dengan bantaran sungai yang tidak ditunjang dengan fasilitas pengolahan sampah. Padahal, jumlah penduduk yang tinggal di bantaran sungai ini mencapai 15 juta jiwa. Situasi ini menyebabkan krisis air dan lingkungan kumuh sering dirasakan masyarakat. Hasil survei Kodam III Siliwangi menyebutkan bahwa tiap harinya 35,5 ton kotoran manusia dibuang langsung ke sungai.
Pencemaran lingkungan, baik oleh pabrik tekstil atau perbuatan masyarakat yang tinggal di sana, telah membuat kualitas kesehatan masyarakat sekitar lingkungan tersebut menurun. Berdasarkan data Puskesmas Majalaya dan Puskesmas Cikaro, tercatat angka kunjungan masyarakat ke puskesmas mencapai 7.357 orang dengan mayoritas keluhan penyakit kulit, saluran pernafasan dan pencernaan.
Catatan hitam Sungai Citarum sesungguhnya telah menarik perhatian dunia. Dua pemuda asal Perancis, Sam Bencheghib (22) dan Gary Bencheghib (20), pada pertengahan 2017 mengarungi sungai terpanjang di Jawa Barat ini. Tujuan mereka adalah mendatangi warga di sekitar bantaran sungai dan mengkampanyekan betapa air yang tercemar sungguh membahayakan bagi kesehatan dan kehidupan.
Setahun kemudian, Presiden Joko Widodo mengeluarkan instruksi pembenahan Sungai Citarum. Turunan instruksi dari presiden tersebut adalah Program Citarum Harum yang berfokus pada pengendalian pencemaran, penataan ruang, dan rehabilitasi di kawasan hulu. Namun, seberapa efektif program ini bisa menyelesaikan persoalan yang telah mengakar di Citarum, mengingat telah banyak program-program sebelumnya yang juga digulirkan untuk menyelamatkan sungai yang melintasi 701 desa ini?
∗ ∗ ∗