Kodingareng Lompo berjarak sekitar 45 menit dari teras utama Makassar, Pantai Losari, via kapal berpenumpang. Pulau seluas 0,4 km² ini dihuni oleh sekitar 4.830 penduduk. Rumah-rumahnya padat dan saling berhimpitan. Di tengah pulau ada lapangan sepakbola dan sekolah menengah. Hanya sedikit warga pulau yang mengenyam pendidikan hingga bangku kuliah. Laki-laki di Lompo bekerja sebagai nelayan, sementara perempuannya bekerja sebagai penjaja makanan dan mengurus rumah tangga.
Tahun 2020, penduduk di Kodingareng dikejutkan dengan kapal besar pengeruk pasir yang akan dijadikan bahan baku reklamasi untuk pelabuhan – Makassar New Port. Ini adalah proyek reklamasi dengan luas ratusan hektar yang menjadi salah satu prioritas pemerintahan era Presiden Joko Widodo. Karena proyek ini, sekitar 20 perusahaan berebut hak konsesi penambangan pasir laut.
Ketika kapal pengeruk Queen of the Neteherlands milik PT Royal Boskalis beroperasi di kawasan Copong usai mendapatkan izin keruk, nelayan di kawasan itu jadi gentar. Musim ikan tenggiri yang seharusnya menjadi penanda panen laut karena harga tinggi, harus berhenti. Tenggiri lari dan tak mendekat. Nelayan gusar, tak ada penghasilan, hilang pendapatan.
Nelayan dan beberapa lembaga swadaya masyarakat menilai pengerukan itu menjadi biang kerok ikan-ikan hilang. Para aktivitis lingkungan juga menuding jika karang di kawasan perairan tempat nelayan mencari ikan menjadi rusak karena aktivitas tersebut. Gerakan lembaga makin massif. Kemudian muncul aksi penyelamatan perairan Spermonde secara menyeluruh. Perusahaan-perusahaan harus menghentikan kegiatannya.
Kodingareng adalah bagian dari Spermonde, kawasan yang terdiri dari gugusan pulau kecil yang membentang dari Takalar, Makassar, Pangkep dan Barru. Jumlahnya mencapai 121 pulau dan luasnya mencapai 2.500 km. Gugusan inilah yang kemudian dinyatakan sebagai sumber ikan masyarakat, khususnya pasokan ikan yang masuk ke Makassar. Tapi, benarkah demikian?
Di bagian atas atau daerah datar, untuk snorkeling dan berenang biasa, memang bagus. Tapi jika menyelam dan melihat sisi tebing, akan nampak kerusakannya.
Saya menemui Syafyudin Yusuf, Guru Besar Fakultas Kelautan Universitas Hasanuddin. Dia memiliki satu meja kecil di lantai lima gedung Puslitbang Laut Pesisir dan Pulau Kecil. “Gugusan ini memiliki sekitar 200 spesies karang,” katanya memulai cerita. Kemudian, ia menarik napas dalam lalu menatap saya dan Iqbal Lubis, kawan fotografer. “Kalau secara ekosistem, terumbu karang di Spermonde sudah rusak. Di beberapa titik bahkan kerusakannya bisa mencapai 80 persen,” lanjut Syafyudin.
Spermonde adalah lapangan praktik dan tempat belajar bagi mahasiswa kelautan di Makassar. Tak terkecuali bagi Syafyudin yang mengenyam pendidikan di Fakultas Kelautan Universitas Hasanuddin pada 1989. “Tahun 1990-an awal ketika pertama kali saya menyelam di perairan Spermonde, karang sudah banyak rusak akibat dibom. Jadi, kalau bilang sekarang semakin rusak, tidak juga, sejak dulu sudah rusak. Sekarang bahkan ada upaya pemulihannya,” ujar pria yang meraih gelar doktornya di Institut Pertanian Bogor ini.
Terumbu karang di kawasan perairan Spermonde berkategori sedang. Tutupannya di atas 25 hingga 50 persen. Rusaknya terumbu karang di perairan ini terutama terjadi di area lereng atau slop, lokasi tempat ikan-ikan bermain. Di tempat ini pula nelayan biasa berburu ikan. Para wisatawan yang berkunjung dan beraktivitas snorkeling di spot wisata Spermonde akan dengan mudah menganggap tutupan karang di lokasi ini bagus, tidak rusak. “Memang seperti itu keadaannya. Di bagian atas atau daerah datar, untuk snorkeling dan berenang biasa, memang bagus. Tapi jika menyelam dan melihat sisi tebing, akan nampak kerusakannya,” kata Syafyudin.
Ikan dari Laut Jauh
Pulau Barrang Lompo berada tak jauh dari Kodingareng. Pulau ini lebih kecil, tapi penduduknya padat. Di sini, warung-warung penjaja makanan dan cemilan hanya berjarak paling jauh lima rumah. Di Barrang Lompo, saya bertemu Haji Dahrin, pengusaha hasil laut. Ia mantan penyelam handal dan pencari teripang. Kami berbincang di teras belakang rumahnya yang langsung menghadap lautan. Di kejauhan, gedung-gedung Kota Makassar terlihat.
Pada masa lalu, Haji Dahrin pernah mempraktikkan bom ikan, bahkan menggunakan bius dari bahan potasium. Kemudian ia menyadari bahwa praktik itu tak bisa terus dilakukan sebab bisa membunuh karang, tempat ikan bersarang. Dan akan berakibat fatal pada kelangsungan pendapatannya. “Dulu di sekitar pulau ini, banyak ikan. Tapi tahun 1990 akhir, semua berubah. Ikan-ikan berkurang,” katanya. Haji Dahrin kemudian mengira-ngira penyebabnya. Ia condong menyalahkan bius dan pengeboman. Getaran akibat bom membuat karang hancur. Sementara bius menyebabkan karang mati perlahan.
Penggunaan potasium oleh nelayan dilakukan dengan sederhana. Dimasukkan ke dalam botol air mineral yang penutupnya dilubangi. Saat penyelam menemukan terumbu karang yang menjadi target, mereka akan memilih ikan. Biasanya, ikan yang diincar adalah ikan karang, seperti kerapu dan sunu. Kemudian, potasium dipompakan ke lubang karang. Zat itu akan menyebabkan pernapasan ikan terhambat. Ikan-ikan jadi oleng dan pingsan. Sehari setelah terkena cairan potasium, karang akan memutih. Dua hari kemudian karang itu mati, seperti batu kapur yang rapuh.
Praktik pembiusan ini telah lama dilakukan oleh masyarakat kepulauan di wilayah Spermonde. Sejak 1980-an, beberapa lembaga dan Universitas Hasanuddin rutin melakukan sosialisasi mengenai pentingnya menjaga ekosistem terumbu karang. Tapi, tak ada yang bisa memastikan apakah nelayan sudah meninggalkan praktik tersebut. Haji Dahrin mengatakan bahwa mungkin masih ada yang melakukannya di sekitaran pulau, tapi secara sembunyi-sembunyi. “Kita bicara di sini, mungkin di laut sana ada orang yang melakukan bius,” ujarnya.
Kenaikan air laut dan suhu akibat perubahan iklim menyebabkan terumbu karang menjadi rentan. Di beberapa tempat di Indonesia, kenaikan suhu laut membuat karang memutih (bleaching). Tapi di Spermonde, pemutihan karena suhu laut jarang terjadi.
Cairan potasium yang terbawa arus air, kata Syafyudin, akan melewati beberapa karang dan menempel. “Jika nelayan melakukan pembiusan di titik tertentu, kerusakannya bisa jauh dan menyebar. Praktik itu memang sangat merusak,” terang Syafyudin. Ikan jadi sulit didapatkan. Tak heran, penjual nasi campur di Barrang Lompo lebih banyak menyuguhkan potongan ayam dan telur, serta mi instan. “Kalau orang akan bikin hajatan menikah, ikan itu biasa kami beli di pelelangan ikan di Makassar,” kata Haji Ilyas, penduduk lainnya.
Ilyas, seperti Dharin, adalah penyelam pemburu teripang. Pada 1990, ketika usianya belum mencapai 20 tahun, dia sudah mulai menyelam. Wilayah jelajahnya mencapai perbatasan laut Sulawesi dan Kalimantan di Pulau Ambo. Dia menggunakan kompresor angin, dan dapat menjangkau kedalaman 50 meter. Ia mencari teripang di laut jauh seperti itu dikarenakan di Spermonde teripang besar sudah mustahil didapatkan.
Spermonde seyogianya adalah kawasan yang kaya keragaman hayati. Dalam catatan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sekarang menjadi BRIN, jumlah spesies karang di kawasan ini mencapai 310. Namun, karena kenaikan air laut dan kenaikan suhu akibat perubahan iklim, terumbu karang menjadi rentan. Di beberapa tempat di Indonesia, kenaikan suhu laut membuat karang memutih (bleaching). Tapi di Spermonde, pemutihan karena suhu laut jarang terjadi.
Universitas Hasanuddin mencatat, pemutihan karang di Spermonde terjadi pada 1997, 1998, 2010 dan 2016. Itu pun dalam spot yang kecil. Pemutihan itu bukan seutuhnya dipengaruhi oleh kenaikan suhu laut, tapi disebabkan oleh banyak faktor, seperti pembiusan dan perubahaan kualitas air.
Polip yang Menawan
Serupa teripang, polip adalah hewan tanpa tulang belakang yang bekerja dan berfungsi membentuk karang. Polip hidup dikisaran pH (Potential of Hydrogen) diatas 7 hingga 8. Hewan yang berukuran 1 hingga 7 mm ini sangat rentan terhadap salinitas air. Polip menyerap ion kalsium di air yang bercampur dengan CO2 dan H2O. Kemudian, ia membuang unsur hidrogen karena mengandung asam. Buangan inilah yang mengendap sedikit demi sedikit menjadi karang. Proses pembentukan karang sebagai rumah polip membutuhkan waktu yang cukup lama, kisaran 5-8 cm setiap tahunnya.
Polip tak ubahnya seperti siput di darat. Jika siput memiliki cangkang, maka rumah polip adalah karang yang dibentuknya sendiri. Syafyudin mengangkat spesimen salah satu karang dari jenis Acropora. Sekilas menyerupai tangkai pohon dengan beberapa ranting. Dia menelisik dan menunjukkan lubang-lubang kecil yang tersebar di badan karang itu. ”Coba lihat ini. Ini satu lubang, satu individu. Ada banyak sekali lubang. Lubang kecil ini tempat hidup polip. Jadi, ada ratusan polip di karang ini,” katanya.
Dulu jarang sekali terjadi kekeruhan di sana. Sekarang ada juga sedimentasi. Jadi bisa dipastikan nasib Samalona kelak akan seperti Lae-lae dan Kayangan.
Dalam rantai ekosistem, polip berada di posisi paling bawah, yang terus dimangsa. Padahal, polip berperan penting dalam kesehatan lingkungan laut. Jika terancam, polip akan melepaskan lendir. Ikan kakatua dan bintang laut mahkota duri adalah beberapa ikan yang kerap memangsa polip. Rapuhnya hewan penyusun karang ini, juga membuatnya rentan mengalami stres. Jika polip mati, maka karangnya pun memutih dan kemudian turut mati.
Selain karena kembang biak polip, kesehatan karang juga dipengaruhi oleh sehat tidaknya lingkungan di sekitarnya, seperti yang terjadi di Pulau Lae-Lae. Pulau ini berada di depan Pantai Losari dan hanya berjarak tak lebih dari 15 menit perjalanan menggunakan perahu. Terumbu karang di Lae-Lae sudah mati. Kematian karang ini karena salinitas dan pH air berubah. Pembuangan air tawar dan sedimentasi telah mempengaruhi ekosistemnya. Perubahan air di sekitar kawasan menjadi sangat keruh dan kotor yang membuat terumbu karang tak bisa lagi berkembang.
Pulau lain yang mengalami nasib serupa adalah Pulau Kayangan. Terumbu karang di pulau ini hampir dipastikan akan mati sebab kondisi air yang semakin asam. Samalona, pulau wisata lainnya pun kelak akan bernasib sama. Hingga akhir 1990, perairan di sekitaran Samalona masih jernih. “Dulu jarang sekali terjadi kekeruhan di sana. Sekarang ada juga sedimentasi. Jadi bisa dipastikan nasib Samalona kelak akan seperti Lae-lae dan Kayangan.”
Menjaga Daratan, Menyelamatkan Lautan
Laut bergantung pada apa yang terjadi di daratan. Pernyataan itu mendapat jawabannya ketika melihat kawasan Spermonde. Perubahan fungsi lahan menjadi pertanian, perkebunan hingga perumahan di wilayah daratan yang berada di sempadan sungai besar kian mempercepat laju kerusakan di muara. Dekade 1990 hingga awal 2000, terumbu karang yang tersisa di beberapa spot snorkeling Spermonde masih menggembirakan. Jika tak bisa melihat ikan besar, maka setidaknya ada banyak ikan hias yang berenang dengan warna beragam. Tapi, saat ini ikan-ikan hias itupun mulai menghilang.
Syafyudin menguraikan bahwa ikan hias dengan ragam corak itu merupakan salah satu indikator baiknya kesehatan lingkungan di sana. Ikan-ikan itu berenang memakan bayi-bayi koral atau baby polip, alga, rumput laut yang kecil yang menempel di permukaan karang dan plankton, hewan tak kasat oleh mata manusia. Meski demikian, data Fakultas Kelautan Universitas Hasanuddin menunjukkan bahwa kerusakan karang sejak 1990-an hingga sekarang tidak bertambah banyak, tapi penurunan kualitas airnya yang anjlok. Plankton hingga polip tak bisa lagi berkembang dengan baik sebagai makanan utama ikan-ikan kecil. Ini sebab ikan-ikan itu akhirnya menghilang.
“Sekarang coba perhatikan, ada berapa sungai besar yang semuanya bermuara di Spermonde. Ada Jeneberang dari pegunungan Lompobattang, ada Sungai Tallo, ada Sungai Maros, juga Kali Bone. Lalu di Makassar, drainase yang membawa air limbah berwarna hitam juga berujung ke laut,” kata Syafyudin. “Semua air dari sungai itu, tidak jernih. Semua berwarna coklat. Ini yang mempengaruhi kesehatan laut kita, khususnya di Spermonde.
Syafyudin juga mengatakan, tingginya curah hujan antara Desember hingga Februari di Makassar dan sekitarnya telah membuat volume air tawar terbuang semua ke lautan. Sebaran air yang tadinya ber-pH 7 yang mencapai lautan menjadi asam dan membawa lumpur hingga jarak 11 mil di sekitar perairan Barrang Lompo. Kondisi ini kemudian menyebabkan rusaknya ekosistem terumbu karang dan matinya karang.
Kerusakan karang membuat beberapa pulau menjadi rentan. Hal ini disebabkan pertahanan alaminya hilang. Pulau Bone Tambu adalah salah satu contohnya. Pulau yang masuk dalam wilayah Spermonde ini, di bagian luarnya yang memiliki susunan karang tubir yang kuat, telah mengalami penggundulan. Karang-karang Atoll, karang yang menyerupai batok kepala besar, di pulau ini diambil untuk dijadikan pondasi rumah. Ketika gelombang datang, karang yang sudah mati secara perlahan akan tersapu gelombang. Peristiwa ini kemudian membuat sisi pulau abrasi. Ketika satu sisi tergerus, sisi lainnya bertambah. Pulau Bone Tambu saat ini seperti berpindah karena pasir yang terbawa arus.
Di bibir pantai kawasan Galesong di Kabupaten Takalar, abrasi juga menghantam daratannya. Tempat pemakaman umumnya tergerus, hingga ada kerangka manusia yang terlihat. Perairan Galesong, yang lantai lautnya pasir, adalah kawasan yang menjadi tempat penumpukan sedimentasi Sungai Jeneberang.
Arus air pun berubah di kawasan ini ketika proyek Center Point of Indonesia dilakukan di Makassar yang mereklamasi laut seluas 157 hektare. Reklamasi itu akhirnya berfungsi seperti tanggul di titik tertentu. Wilayah lainnya yang terkena refraksi, pembelokan arus gelombang, akan mendapatkan hantaman ombak dan pengikisan pada bibir pantainya.
Rumitnya menyelamatkan ekosistem laut sama sulitnya saat menjaga eksosistem di darat. Dua alam ini saling terhubung, di mana gunung dan laut dihubungkan oleh sungai sebagai ‘pembuluh darah’nya. “Ingat, lingkungan darat yang sehat akan mengalirkan nitrogen dan makanan bagi biota laut yang sehat pula,” kata Syafyudin, “Bukan mengirimkan air yang berlumpur seperti yang kita alami saat ini.”