Kisah Krisis Iklim di Meja Makan Kita
Kita tak perlu jauh-jauh datang ke Kutub Utara untuk melihat betapa perubahan iklim telah melelehkan gunung-gunung es. Juga, tak perlu pula membaca data sensor arus laut untuk melihat bagaimana krisis iklim ‘bekerja’. Cukup dengan duduk di meja makan saja kita bisa melihat bencana iklim ini telah sampai ke ruang personal manusia.
Padi yang telah menjadi nasi, sayur-mayur, buah-buahan, lauk-pauk beserta garam, hingga kopi dalam cangkir yang ada di meja makan semua berasal dari bumi. Sadar ataupun tidak, semua bahan pangan itu telah berubah, baik cita rasanya ataupun kuantitas yang dihidangkan. Dari berbagai riset dan jurnal, semua perubahan ini sebagian besar berpangkal pada krisis iklim. Dan lewat meja makan pula kita bisa melihat kisah pergumulan para petani dengan krisis iklim ini.
Di Kusamba, Bali, ladang garam yang sudah digarap oleh petani garam selama berabad-abad berangsur lenyap. Di Mengare, Jawa Timur, tambak bandeng seluas 800 hektare juga hilang. Penyebab dua masalah ini sama; perubahan ombak laut dan abrasi. Namun, perubahan iklim tak hanya melenyapkan lahan saja. Krisis ini telah melemahkan kemampuan petani di lahan kering. Di Gunungkidul, Yogyakarta, para petani padi sudah kebingungan mengenali awal masa tanam. Sayur-mayur di Malino-Sulawesi Selatan tak bisa panen akibat kemarau berkepanjangan.
Sayangnya, dampak krisis iklim ini tidak berhenti di situ saja. Bencana ini juga menggerogoti putik tanaman. Perempuan-perempuan petani kopi di Banjarnegara, Jawa Tengah, mesti berjibaku dengan hama, penyakit baru dan kacaunya siklus pembungaan untuk menyelamatkan tanaman kopi mereka. Penyakit darah pisang menyebar merata di pohon-pohon pisang kepok di Flores, Nusa Tenggara Timur. Nun di Lilibooi, Maluku, cengkih tak lagi berbunga dan pala tak berbuah. Krisis iklim ini benar-benar telah merugikan para petani kita.
Kisah pergumulan para petani dengan krisis iklim yang sedang dipamerkan ini terwujud dari kolaborasi bersama Greenpeace Indonesia dengan Iklimku. Bukan tanpa sebab tujuh reportase ini dibuat dan dipamerkan. Di tengah gelagat masyarakat Indonesia yang kurang peka terhadap apa yang berubah dengan lingkungan sekitar mereka, reportase ini perlu dilakukan sebagai pengingat. Di antara janji-janji manis di masa karut-marut politik ini, kisah-kisah ini perlu dipamerkan sebagai suar yang mengabarkan bahwa petani-petani kita, juga lahan-lahan mereka, tidak sedang baik-baik saja.
Meja makan, entah itu di rumah makan, kafe-kafe, restoran mewah hingga yang ada di rumah kita adalah ujung dari rantai panjang hasil bumi yang digarap dari keringat para petani. Bila krisis iklim ini tidak segera memperoleh antisipasi, niscaya pengetahuan yang didapat dari ribuan tahun bercocok tanam tidak lagi berguna. Dan kita akan melihat isi dalam piring, mangkuk serta cangkir di meja makan kita lambat laun berkurang. Lalu, sirna.
Dengan melihat dan membaca kisah pergumulan petani dengan krisis iklim ini, cara pandang kita kemudian menjadi berubah ketika melihat hidangan di meja makan. Semoga.
Greenpeace Indonesia & Iklimku.org