Perlahan-lahan tetapi pasti, hutan yang dulu rimbun hijau kini beralih kuning mengering di Distrik Asiki, Kabupaten Boven Digoel, Papua. Rimbun pohon kelapa dan bambu yang dulunya menjadi ruang di mana warga lokal tinggal, kini dikepung hamparan kelapa sawit. Dusun Sagu, tempat komunitas orang asli Papua tinggal, menjadi korban rakusnya tuntutan global, pasokan kelapa sawit untuk memenuhi kebutuhan pangan dunia.
Keringnya lokasi tempat tinggal orang asli Papua terjadi sejak perkebunan kelapa sawit mulai dibuka di kawasan ini. Hutan-hutan ditebang. Komunitas setempat harus berpindah meninggalkan tempat di mana nenek moyang mereka dulu hidup dan membangun kebudayaan lokal.
Pohon kelapa sawit (Elaesis guineensis) merupakan komoditas penting untuk menghasilkan minyak sawit atau crude palm oil (CPO). Tumbuhan berasal dari Afrika ini tumbuh subur di daerah tropis, sekitar garis Khatulistiwa, termasuk Indonesia dan Malaysia. Secara global, kedua negara bertetangga ini menguasai lebih dari 86 persen produksi minyak sawit dunia. Selama tahun 2020, Indonesia dan Malaysia memproduksi sebanyak 63 juta ton dari total 73,23 juta ton produksi minyak sawit dunia.
Data yang sama dari Departemen Pertanian Amerika Serikat menunjukkan, Indonesia merupakan negara penghasil minyak sawit terbesar dengan 43,5 juta ton pada tahun 2020. Sebagai perbandingan, menurut data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, pada tahun yang sama, volume ekspor minyak sawit mencapai 34 juta ton, turun dari 37,39 juta ton pada tahun sebelumnya.
Toh, meskipun mengalami penurunan secara volume, nilai ekspor minyak sawit Indonesia tetap naik. Jumlahnya mencapai USD 22,97 miliar pada tahun 2020, naik dibandingkan tahun 2019 sebesar USD 20,22 miliar. Nilai itu menunjukkan bahwa di tengah pandemi sekalipun, minyak sawit tetap menyumbang devisa negara.
Dari perkebunan kelapa sawit di pedalaman Indonesia, minyak sawit lalu diolah sebagai bahan penting dalam produk modern saat ini, termasuk pangan, alat kecantikan, dan bahkan biodesel.
Namun, dampak industri ini serupa malapetaka terhadap keseimbangan ekologi dan kehidupan komunitas asli yang bermukim di kawasan hutan yang dibongkar untuk perkebunan kelapa sawit.
Kami sekarang sudah tidak ada tanah. Kalau anak saya tidak berhasil sekolah, mau hidup bagaimana nanti.
Seperti terjadi di Boven Digul, Papua dan hampir semua tempat di negeri ini, kelapa sawit adalah komoditas yang dikembangkan dengan membabat hutan (deforestasi). Pada awal 2019, tim peneliti Universitas Duke, Amerika Serikat, menerbitkan hasil riset bahwa perkebunan sawit adalah penyebab pembabatan hutan tertinggi di Indonesia, 2,08 juta hektare selama lima tahun (2011-2016).
Praktik deforestasi merupakan salah satu penyebab terbesar perubahan iklim global. Riset terbaru menunjukkan bahwa hutan mampu mengurangi 30 persen dari gas rumah kaca yang dihasilkan dari pembakaran fosil dan alih fungsi lahan. Pembabatan hutan-hutan tropis secara massal telah mengurangi kemampuan tersebut dan membuat iklim bumi bertambah hangat dibandingkan abad-abad sebelumnya.
Setelah Sumatra dan Kalimantan, kini Papua menjadi kawasan yang dikepung industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Berdasarkan hasil inventarisasi Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (Kanwil BPN) Provinsi Papua, pada tahun 2020 terdapat lahan hak guna usaha (HGU) pertanian dan perkebunan seluas 328.895 hektar. Lebih dari setengah, tepatnya 159.000 hektar merupakan perkebunan kelapa sawit yang tersebar di beberapa kabupaten dan kota.
Dari Papua, minyak sawit dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan pangan warga dunia. Ironisnya, di tempat di mana kelapa sawit dikembangkan, justru menciptakan nestapa bagi komunitas asli. Kelapa sawit yang mendatangkan gemerincing dolar bagi pengusaha dan negara justru menghadirkan kemiskinan dan kebingungan serius karena berubahnya lanskap hidup komunitas asli Papua.
Samela (10) bersama neneknya, Maria, tinggal di kompleks perumahan pekerja milik perusahaan Korindo di Getentiri, Asiki, Boven Digul.
Samela tidak pernah sekolah, tidak bisa membaca dan menulis
Jamak diketahui, kelapa sawit rakus terhadap air. Di Distrik Asiki, Kabupaten Boven Digul, dusun-dusun sagu yang disisakan dan berada berdekatan dengan lahan kelapa sawit, kini perlahan mengering. Penggunaan herbisida dan pestisida untuk perawatan tanaman kelapa sawit tentu berpengaruh terhadap kelangsungan dusun sagu.
Dusun sagu tak hanya menjadi sumber karbohidrat bagi komunitas asli. Selepas pohon sagu dipanen, dipangkur dan diambil sagunya, batang pohon yang membusuk akan menjadi tempat berkembang biak larva kumbang sagu. Larva ini nantinya menjadi ulat sagu yang mengandung kalori, protein dan lemak yang menjadi bahan makanan dan sarana ritual penting bagi komunitas asli Papua di kawasan daratan dan pesisir.
Para perempuan kini harus berjalan lebih jauh untuk mendapatkan air bersih. Di masa lalu, mereka biasa mengambil air untuk kebutuhan sehari-hari dari sungai-sungai yang mengalirkan air bersih di sekitar bivak. Penggunaan herbisida dan pestisida oleh perusahaan kelapa sawit membuat mereka takut mengambil air dari sungai.
Komunitas warga asli harus mencari dan mengganti sumber air di kawasan yang jauh dari lahan kelapa sawit, seperti di dusun sagu. Kini para perempuan harus berjalan kaki lebih jauh dan memerlukan waktu lebih banyak untuk mendapatkan air. Hal serupa juga terjadi untuk kebutuhan kayu bakar. Komunitas warga asli harus berjalan ke dekat kawasan yang masih ada hutan untuk memperoleh kayu bakar.
Keberadaan perusahaan kelapa sawit menghadirkan perubahan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Perusahaan menggiring komunitas asli Papua, pemilik hak ulayat, menjadi buruh dengan upah murah. Sering mereka harus berutang bahan makanan pada koperasi yang dikelola perusahaan. Utang akan dibayar saat menerima upah di bulan berikutnya. Jumlah upah yang telah digunakan untuk membayar utang tidak cukup untuk menutupi kebutuhan hidup dalam sebulan. Dampaknya, utang baru selalu dibuat setiap bulan.
Kondisi tersebut memaksa para perempuan, harus ikut bekerja pada perusahaan kelapa sawit, sebagai siasat agar kebutuhan rumah bisa ditanggungkan. Hal tersebut membuat pola asuh anak mengalami perubahan drastis. Tak jarang anak-anak yang sudah cukup punya tenaga, ikut bekerja bersama orang tuanya di lahan kelapa sawit.
Sebelum hutan diubah menjadi perkebunan kelapa sawit, banyak hewan buruan, seperti walabi (kangguru), kuskus, kasuari dan babi hutan. Juga fauna air, seperti ikan, kadal, buaya dan kura-kura. Berikutnya juga seperti sayur, buah, dan dan kacang-kacangan yang bisa didapat di hutan menjadi langka dan susah dijumpai. “Kini kami susah mendapat binatang buruan. Kami juga kehilangan pohon-pohon untuk bahan membuat rumah, perahu dan peralatan sehari-hari,” kata Tadius.
Hilangnya akses komunitas asli Papua pada sumber pangan ini mengubah drastis kesejahteraan dan kemakmuran yang dialami sejak nenek moyang. Salah satu dampak serius yang dijumpai adalah anak-anak mengalami gizi buruk.
Paskalina (42) tinggal di Distrik Asiki, Boven Digul. Ia mengalami sakit kepala selama 2 tahun terakhir. Diagnosa dokter, ia mengalami stress.
Hampir setiap hari, Paskalina berjalan sekitar 40 km, pulang dan pergi untuk menjual hasil hutan.
Dulu masih ada hutan, jalan tidak panas, banyak pohon. Sekarang, hutan sudah berganti sawit. Saya rindu orang tua dan moyang.
Keberadaan limbah pengolahan minyak kelapa sawit juga menghadirkan ancaman lain. Saat hujan deras, limbah akan mengalir ke sungai. Tanggul kolam penampungan limbah tak cukup menangani ancaman limbah tersebut. Sesekali tanggul itu memang ditinggikan. Namun, warga beberapa kali pernah menjumpai kolam meluap saat hujan, limbah mengalir ke sungai.
Aroma tak sedap sedemikian menyengat dari kawasan ini sekitar 800 meter. Warga sering mengeluhkan bau tak sedap itu. Tapi seolah diabaikan.
Seri foto ini menceritakan pengalaman komunitas asli Papua di kawasan perkebunan kelapa sawit yang kini hidup dalam kebiasaan baru yang dialami karena kehadiran perusahaan kelapa sawit. Kebiasaan yang membuat hidup mereka berpindah dari satu kerentanan ke kerentanan lainnya, tanpa pilihan.