Search
Search

Lunang Tlang Ota Ine

Bagaimana masyarakat adat Punan Adiu menggunakan pemetaan partisipatif untuk melindungi tanah adat mereka.
Foto & Teks:
Michael Eko
Selasa, 8 November 2022

Suku Punan adalah masyarakat adat nomaden di wilayah tengah dan utara Pulau Borneo, baik di sisi Kalimantan, Indonesia maupun Sarawak dan Sabah, Malaysia. Sebagai komunitas pemburu-pengumpul, suku ini mengandalkan hutan sebagai sumber makanan, obat-obatan, air dan segala aspek sosial budaya kehidupan mereka.

Pada tahun 1900-an, pemerintah kolonial Hindia Belanda mulai memindahkan Punan dan masyarakat adat lain untuk menetap di desa-desa permanen di luar hutan. Kebijakan ini membantu pemerintah kolonial untuk memantau dan mengontrol suku-suku tersebut. Pada tahun 1970-an, pemerintah Orde Baru Indonesia juga melanjutkan pendekatan ini melalui sebuah proyek yang disebut resettlement penduduk.

Masyarakat adat yang masih tinggal di dalam pelosok hutan dipindahkan ke dalam desa-desa permanen yang berada di dekat kawasan kota. Program ini dianggap memudahkan pemerintah untuk melakukan pendataan, mengorganisir bantuan dan program-program pembangunan. Di sisi lain, pendekatan ini memberikan dampak lain bagi lingkungan dan budaya masyarakat adat. Saat hutan ditinggalkan, hutan menjadi tak berpenghuni dan lebih terbuka untuk eksploitasi dan konsesi.

Tanpa bekal pendidikan dan tidak memiliki kontrol atas tanah leluhur mereka, Punan hidup termarjinalkan di tengah masyarakat. Konsesi penebangan kayu, pertambangan dan perkebunan kelapa sawit mulai mengeksploitasi hutan adat. Meski masih hidup secara subsisten di hutan yang tersisa, persinggungan dengan kehidupan modern memaksa mereka untuk beradaptasi dan merangkul budaya baru. Tak lagi hanya mengandalkan hasil hutan, kini mereka juga mulai berladang untuk menyambung kehidupan. Beberapa bekerja di kota atau negara lain sebagai buruh migran.

Di sisi lain, persinggungan dengan dunia modern membuat suku Punan mulai mendapatkan akses ke pendidikan, salah satu modal penting yang akan mengubah hidup mereka. Pada sekitar 1970-an, misi Gereja mulai menjangkau suku-suku di pedalaman Malinau, Kalimantan Utara (saat itu masih termasuk dalam Provinsi Kalimantan Timur) lewat sekolah-sekolah yang didirikannya. Lewat misi tersebut, generasi muda masyarakat adat mulai mendapatkan akses ke pendidikan dasar. Kelak sebagian besar siswa perintis ini akan memegang kepemimpinan dan berperan penting dalam pengorganisasian komunitasnya. Pada tahun 2005, mereka mulai berjejaring dengan organisasi lokal, nasional, dan internasional untuk mulai mengorganisir komunitasnya.

MichaelEko_Punan_22
Desa Punan Adiu saat senja. Pada masa silam, orang Punan hidup di dalam hutan. Kini, mereka tinggal di permukiman permanen dan menganut gaya hidup modern. Desa Punan Adiu, Provinsi Kalimantan Utara, Indonesia, 2020.
Sebuah truk mengangkut batu bara ke Malinau, lantas disimpan dalam ruang persediaan mereka dan lalu dikirim ke pasar dalam negeri dan global. Banyak hutan adat di Punan Adiu dan desa-desa tetangga di sekitar Provinsi Kalimantan Utara berada di bawah konsesi kayu, bubur kertas dan kertas, pertambangan batu bara dan perkebunan kelapa sawit. Eksploitasi telah dimulai sejak 1968 pada rezim Soeharto dan berlanjut hingga saat ini. 2020.
Ura beristirahat selama bertani. Ia mengeluhkan beberapa tikus yang telah menghancurkan panennya. Punan Adiu. 2020.
Markus, kepala urusan adat, menunjukkan kitab suci selama Misa Minggu di Punan Adiu. Sejarah Katolik di Punan Adiu dimulai pada 1976 ketika misionaris dan katekis Italia datang ke daerah Malinau. Dengan program Pendidikan mereka, Punan Adiu dan suku-suku lainnya di daerah itu memperoleh pendidikan dan pengetahuan yang akan membantu mereka dalam memberdayakan masyarakat mereka sendiri. Desa Punan Adiu, Provinsi Kalimantan Utara, Indonesia, 2020.

Pada tahun 2005, Niko Boro—seorang guru yang telah berkarya sejak tahun 1970 di Malinau—mendirikan sebuah organisasi bernama Lembaga Pemerhati dan Pemberdayaan Dayak Punan Malinau (LP3M) untuk mendukung masyarakat adat dalam melakukan advokasi dan memetakan hutan adat mereka. Punan Adiu menjadi desa pertama yang melakukan inisiatif ini. Pada tahun 2012, dengan dukungan dari organisasi nasional dan internasional, komunitas Punan Adiu dan LP3M mulai memetakan tanah leluhur mereka.

Pemetaan partisipatif membutuhkan banyak kerja lapangan, verifikasi, dan konsultasi publik yang melibatkan masyarakat dan desa tetangga untuk memastikan batas daerah dan akurasinya. Di Punan Adiu, proses ini memerlukan waktu sampai dua tahun hingga semua masyarakat dan desa tetangga menyetujui peta yang dibuat. Pada tahun 2015, Punan Adiu berhasil memetakan 17.415 hektar hutan adatnya, luas yang setara dengan kota Washington, DC di Amerika Serikat. Tak puas sampai di situ, komunitas Punan Adiu lalu meminta Pemerintah Kabupaten Malinau untuk mengakui masyarakat adatnya.

Pada tangga l8 Mei 2017, kepemilikan hak tanah dan eksistensi Punan Adiu sebagai masyarakat hukum adat akhirnya diakui dan disahkan oleh pemerintah Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Utara, Indonesia. Bupati Malinau saat itu, Yansen Tipa Padan, menandatangani surat keputusan tentang pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat Punan Long Adiu, yang memberikan hak penuh kepada masyarakat untuk melindungi dan mengelola hutan adat mereka.

Untuk memperkuat pengakuannya di tingkat nasional, masyarakat Punan Adiu lalu mengajukan permohonan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat beserta hutannya kepada Pemerintah Pusat, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, di Jakarta pada 21 Juni 2018 melalui skema perhutanan sosial. Kementerian akan mengkaji dokumen tersebut dan melakukan verifikasi lapangan. Ketika semua persyaratan dan verifikasi telah disetujui, Komunitas Punan Adiu akan mendapatkan pengakuan nasional dan memiliki legalitas yang lebih kuat untuk melindungi dan mengelola wilayah adat mereka secara berkelanjutan.

Meski berhasil mendapatkan pengakuan legal atas hutan adatnya, perjuangan Punan Adiu belum berhenti. Di tengah ancaman deforestasi dan industri eksploitatif yang beroperasi di sekitar desa, sertifikasi legal tidak lagi cukup untuk melindungi tanah leluhur. Komunitas perlu terus aktif untuk menjaga dan mengelola wilayah adat secara lestari. Untuk memperkuat eksistensi atas kepemilikan tanah mereka, Punan Adiu melakukan patroli hutan, membangun kabin dan papan informasi di sepanjang wilayah adat, merencanakan pengembangan ekonomi melalui layanan ekowisata dan perdagangan karbon, serta menanam pohon dan tanaman komersial.

Di sisi pengelolaan lanskap, masyarakat Punan Adiu juga menggunakan kearifan lokal tradisional mereka untuk membagi wilayah adat mereka menjadi beberapa zona lindung dan area ekonomi. Sementara hutan primer dijaga sebagai hutan lindung, masyarakat dapat memanfaatkan kawasan lain untuk memenuhi kebutuhan subsisten dan ekonomi mereka. Melalui pengelolaan ini komunitas berusaha untuk secara seimbang menyelaraskan pelestarian alam dan pemberdayaan ekonomi. Di sisi keanekaragaman hayati, 97% wilayah Punan Adiu adalah hutan hujan dan merupakan rumah bagi tumbuhan dan hewan endemik.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh LTS International pada tahun 2017 memperkirakan pengurangan emisi CO2 sebesar 55.216 metrik ton per tahun dapat tercapai jika masyarakat Punan Adiu dapat menghindari deforestasi di hutan adatnya. Dengan perannya sebagai cagar alam, sumber pangan dan penyerap karbon, Hutan Adat Punan Adiu memiliki dampak signifikan sebagai suaka keanekaragaman hayati, penyedia kebutuhan masyarakat serta berkontribusi dalam mencegah krisis iklim global mencapai tingkat yang berbahaya bagi peradaban bumi.

Ular dari keluarga Pythonidae adalah salah satu sumber protein bagi masyarakat Punan Adiu. Hutan menyediakan makanan bagi masyarakat adat ini. Sebuah sungai, daerah adat Punan Adiu, Provinsi Kalimantan Utara, Indonesia. 2020.
Piyang dan Lukas berpose di depan pohon Benggeris (Koompassia excelsa) saat melakukan patroli hutan. Pohon itu tumbuh lebih tinggi dibandingkan sejumlah pohon kanopi dan cabangnya menjadi sarang bagi lebah madu raksasa (Apis dorsata). Dengan perlindungan asap, para pendaki lokal memanen madu dari sarang tersebut untuk mengais penghasilan tambahan. Dengan nilai ekonomi dari budidaya pohon tersebut, para penghuni setempat menganggap tabu untuk menebangnya. Demi menjaga hutan, Punan Adiu melakukan patroli di kawasan hutan adat mereka. 2020.
Daniel mempersiapkan tombak dan senternya untuk berburu pada malam hari. Punan dikenal sebagai suku pemburu di Kalimantan. 2020.

Reformasi agraria dan masyarakat adat Indonesia

Apa yang dicapai Punan Adiu secara historis berkaitan erat dengan agenda reformasi agraria di Indonesia. Wacana tersebut telah dimulai sejak tahun 1948 ketika bangsa yang baru merdeka ini membentuk sebuah panitia (Panitia Agraria) untuk menyiapkan undang-undang baru yang berfokus pada agenda reformasi agraria sebagai sarana untuk mencapai visi keadilan sosial bangsa Indonesia.

Meski dimulai pada 1948, karena terhambat oleh perang pascakemerdekaan dan labilnya pemerintahan pada dekade itu, baru pada tahun 1960 Indonesia berhasil menghasilkan Undang-Undang yang mengatur hal ini. Pada tahun 1960, hukum agraria di Indonesia mulai diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Peraturan Pokok Agraria, dimana negara memiliki tingkat penguasaan tertinggi atas tanah, air, ruang angkasa, dan sumber daya alam serta dapat mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penyediaan, dan pemeliharaan sumber daya alam tersebut untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hak-hak masyarakat adat atas tanah adat tetap diakui meskipun, secara hukum, negara berperan sebagai penguasa atas setiap tanah di Indonesia.

Sayangnya, sebelum Dewan Perwakilan Rakyat berhasil membuat peraturan pelaksana, prahara September 1965 terjadi di seluruh daerah di Indonesia dan menghentikan agenda reformasi agraria. Setelah Bung Karno digantikan oleh Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia, pemerintahan Orde Baru justru berbalik menerapkan kebijakan agraria yang sangat berbeda. Dengan fokus pada revolusi hijau, stabilitas politik, investasi, dan industrialisasi, rezim kala itu menganggap bahwa reformasi agraria kurang dipandang sebagai prioritas terpenting. Sebaliknya, wacana reformasi agraria justru dianggap sebagai produk komunisme dan menjadi perbincangan yang dilarang.

Alih-alih melanjutkan agenda reformasi, rezim justru memberikan konsesi kepada berbagai perusahaan nasional dan multinasional untuk mengkonversi lahan dan hutan untuk industri kayu, pertambangan, dan perkebunan. Akibatnya, konflik agraria mulai jamak terjadi selama Orde Baru. Masyarakat adat hidup dalam kemiskinan dan tidak memiliki kontrol atas tanah adat mereka.

Setelah tiga dekade berkuasa, Soeharto pun lengser saat krisis ekonomi melanda Asia pada 1998 dan memicu people power yang memaksanya mundur sebagai Presiden Indonesia. Titik kritis ini lalu membawa kebebasan baru bagi masyarakat sipil Indonesia yang mulai membuka kembali diskusi mengenai wacana reformasi agraria. Dalam suasana reformasi, kelompok-kelompok masyarakat sipil dan masyarakat adat mulai mengonsolidasikan jaringan dan melakukan berbagai inisiatif baru untuk mempengaruhi negara agar melembagakan reforma agraria ke dalam instrumen hukum pascareformasi 1998.

Dalam konteks Punan Adiu, perubahan mulai muncul pada tahun 2012 ketika Provinsi Kalimantan Utara telah resmi berdiri (setelah sebelumnya dimekarkan dari Provinsi Kalimantan Timur). Dengan lahirnya provinsi baru, komunitas adat dan masyarakat sipil di Kabupaten Malinau berusaha berdialog dengan pemerintah dan berbagai stakeholder lokal dan nasional untuk melembagakan dan menjalankan reformasi agraria di kawasan ini.

Di Kabupaten Malinau, setelah dialog dan negosiasi yang panjang dengan berbagai organisasi masyarakat sipil, akhirnya DPRD Malinau menerbitkan Peraturan Daerah No.10 tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat pada 3 Oktober 2012. Menyusul perkembangan tersebut, Bupati Malinau menerbitkan Peraturan Bupati tentang Badan Pengelola Urusan Masyarakat Adat Kabupaten Malinau pada 19 November 2014, yang memberikan peran independen kepada lembaga tersebut untuk mendukung masyarakat adat dalam memetakan, memperoleh pengakuan dan mengelola tanah adat mereka.

Di tingkat nasional, kemajuan juga dicapai sebagai hasil dari inisiatif berbagai organisasi masyarakat sipil. Pada tahun 2012, Putusan Mahkamah Konstitusi Indonesia mengizinkan pengkategorian ulang hutan adat dari ‘hutan negara’ menjadi ‘hutan hak’, yang mengakui hak masyarakat atas tanah dan sumber daya, meskipun secara hukum kawasan hutan masih tetap berada di bawah yurisdiksi Kementerian Kehutanan, dan kajian atas hak tersebut harus diperbarui setiap 20 tahun.

Selain aspek legal, perjuangan masyarakat adat juga dilakukan melalui berbagai bentuk lain. Sering dengan inisiatif pemerintah Indonesia untuk menjalankan program perhutanan sosial, komunitas Punan Adiu mendaftarkan hutan mereka melalui program ini, dengan skema hutan adat sebagai instrumennya. Melalui skema ini, komunitas dapat memiliki hak penuh untuk mengelola hutan adatnya.

Seluruh peraturan, program dan berbagai inisiatif di atas merupakan kerangka hukum yang pada akhirnya memungkinkan Punan Adiu melegalkan hutan adat mereka. Selain aspek hukum, aspek lain seperti pengorganisasian komunitas, negosiasi, dan kerja bersama untuk memengaruhi kebijakan publik yang inklusif dan pro lingkungan hidup adalah perjuangan yang juga harus ditempuh oleh masyarakat adat seperti Punan Adiu untuk menjaga tanah adatnya. Dibutuhkan energi dan kesabaran tinggi dalam perjuangan ini.

Mengutip John P. Powelson, seorang peneliti isu agraria, perjuangan reformasi agraria yang dilakukan dengan pengorganisasian masyarakat biasanya memerlukan waktu yang cukup panjang. Namun dalam rentang waktu tersebut, komunitas dapat terus belajar sembari memperkuat posisi tawar serta representasi politiknya dalam memengaruhi kebijakan publik yang penting bagi hidup mereka.

“A land reform by leverage, on the other hand, takes time. This is a reform by which peasants, in organizations they have formed and manage, bargain with overlords or government from strength they have already achieved. … Only through reforms by leverage does the peasant acquire, in the long run, an equitable distribution of welfare and adequate political representation.”

(Powelson, John P and Richard Stock. The peasant betrayed: agriculture and land reform in the third world. Cato Institute. Washington, D.C. 1987).
Anak-anak mandi di tepi Sungai Malinau, Provinsi Kalimantan Utara Indonesia, 2020. Masyarakat Punan Adiu tinggal di tepi Sungai Malinau.

Dari nomaden ke modern

Perubahan ekosistem dan penetrasi gaya hidup modern telah menimbulkan pertanyaan eksistensial terhadap bagaimana masyarakat Punan Adiu dapat bertahan dan melindungi nilai-nilai tradisional mereka di masa depan. Di beberapa kampung sekitar Adiu, berbagai industri eksploitatif—seperti pertambangan batu bara dan perkebunan monokultur—gencar menawarkan sejumlah besar uang kepada sebagian orang untuk menjual tanahnya. Belajar dari desa dan komunitas lain yang menderita dampak destruktif dari industri eksploitatif, komunitas Punan Adiu menolak tawaran tersebut dan berusaha berkomitmen untuk melindungi hutan mereka.

Sekelompok masyarakat Punan Adiu sarapan bersama di Sungai Adiu sebelum mulai melakukan kerja kolektif (senguyun). Hidup dalam komunitas kolektif menuntut orang untuk saling membantu dan terlibat dalam kerja kolektif (senguyun). Dalam budaya senguyun, seseorang menukar jasanya secara timbal balik. Alih-alih dibayar dengan uang, para pekerja dapat meminta majikan dan teman-temannya untuk bekerja di proyek atau pekerjaannya di masa depan. Desa Punan Adiu, Provinsi Kalimantan Utara, Indonesia, 2020.

Di sisi lain, persinggungan dengan budaya modern membuat komunitas masyarakat adat juga harus beradaptasi dengan kebiasaan dan kebutuhan baru, seperti: biaya pendidikan, listrik, internet untuk sekolah, pengobatan dan kesehatan, transportasi, dll. Meskipun masih menjaga gaya hidup subsisten, komunitas Adiu memerlukan model ekonomi baru untuk beradaptasi dengan modernitas yang tak bisa dilawan. Beberapa program ekonomi seperti: ekowisata, budidaya gaharu dan kacang sebagai hasil ladang dan hutan non-kayu, serta rencana bergabung dalam skema perdagangan karbon dunia, menjadi beberapa opsi yang dibangun komunitas ini untuk beradaptasi dengan modernitas sembari tetap menjaga lingkungan hidupnya.

Ilin Markus bermain dengan putrinya. Ilin adalah Kepala Desa Punan Adiu. Punan Adiu, Provinsi Kalimantan Utara, Indonesia, 2020.
Pemeriksaan Kesehatan anak di Desa Punan Adiu, 2020.

Dengan tiga puluh dua keluarga yang menjadi anggotanya, komunitas Punan Adiu memiliki tugas untuk menjaga 17.415 hektar luas hutan adatnya. Untuk sebuah komunitas yang kecil dengan sumber daya manusia yang terbatas, misi tersebut adalah tanggung jawab yang sangat besar. Sambil terus berjejaring dengan berbagai pihak, Punan Adiu terus mencari cara-cara baru untuk menjaga hutan dan memberdayakan kehidupan komunitasnya. Seperti leluhur mereka yang selalu waspada namun lincah bergerak ketika menjelajah pelosok rimba, keberanian mencoba hal baru sembari menjaga nilai-nilai baik kehidupan adalah modal utama untuk beradaptasi dengan zaman.

Lunang Tlang Ota Ine, Hutan adalah air susu ibu.
Kepada anak yang selalu setia menjaganya, alam akan selalu memberi kelimpahan.

Hutan hujan tropis di Malinau, Provinsi Kalimantan Utara, Indonesia. 2020.​

∗ ∗ ∗

Michael Eko

Seorang fotografer dokumenter. Sejak 2010, ia memotret masyarakat adat dan berbagi komunitas di Indonesia dan Asia Tenggara dalam beradaptasi dengan perubahan iklim, budaya dan sosial ekonomi. Karya-karyanya fokus menampilkan bagaimana sejarah kolonialisme yang kini berkelindan dengan globalisasi dan krisis iklim telah berdampak besar terhadap berbagai komunitas dan lingkungan hidup. Karya-karya-nya dapat dilihat di www.michaeleko.com

Lunang Tlang Ota Ine (Forest is our mother) adalah karya kolaborasi yang dibuat oleh Michael Eko bersama Lembaga Pemerhati dan Pemberdayaan Dayak Malinau (LP3M). Proyek visual ini didukung oleh Yayasan World Press Photo, Yayasan Message in A Photo dan Solutions Journalism Network. Untuk membaca cerita lengkap, silakan kunjungi www.adiu.or.id

Kami menerima kontribusi foto cerita untuk ditayangkan di situs ini. Tema yang diusung adalah seputar dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan, ketahanan dan adaptasi masyarakat serta inovasi-inovasi yang dilakukan untuk menghadapi tantangan perubahan iklim. Silakan kirimkan tautan berisi foto resolusi rendah, teks, dan profil singkat ke submit@iklimku.org. Kami akan segera memberi tanggapan kepada Anda. Terima kasih.