Pembukaan hutan kerap memicu perselisihan antara masyarakat adat dan perusahaan. Konflik lahan juga menyertai setiap pengembangan perkebunan sawit, walau tidak selalu.
Saat ini masyarakat adat Suku Moi di Distrik Segun, Gisim, dan Waimon—distrik paling ujung di Kabupaten Sorong, Papua Barat—sedang dalam ancaman konflik.
Suku Moi adalah salah satu suku dengan populasi tebesar di Kabupaten Sorong. Mereka berhadapan dengan rencana pembukaan perkebunan kelapa sawit.
Pihak perusahaan kerap mendatangi masyarakat adat ini. Hingga satu ketika, uang Rp.150 juta digelontorkan ke tiap-tiap marga sebagai kompensasi pembukaan hutan seluas 14 ribu hektare. “Dengan catatan boleh menanam di tanah kami, BUKAN menjualnya,” ujar Barnabas Malalu (47) di Distrik Waimon. Barnabas bertindak sebagai perwakilan marga Malalu.
Namun beberapa tahun semenjak menandatangani kontrak tersebut, mereka tidak kunjung menemukan titik terang. “Di mana jalan yang dijanjikan akan dibangun? Di mana ada penerangan? Seolah semua terlupakan begitu saja, hanya janji-janji surga belaka. Kami merasa dipermainkan,” ujarnya.
Kebanyakan masyarakat kini sudah mulai sadar kebusukan propaganda pembangunan, konon demi penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat adat.
Paulus Sapisa selaku Ketua Dewan Adat Suku Moi mewakili beberapa keluarga yang terancam menyatakan, “Kalau industri sawit terus berdatangan dengan patok ratusan bahkan ribuan hektare membidik tanah kami, itu adalah pembunuhan secara halus kepada kami masyarakat pribumi”, lanjutnya, “Tanya warga di Distrik Gisim Barat, berapa tanah adat yang mereka serahkan ke perusahaan? Dan apakah semua itu memberi keuntungan bagi mereka?”
“Hutan bagi kami bak ibu kandung yang melahirkan dan menyusui, seperti dalam bahasa Moi disebut ‘Tam Sini’ berarti yang memberi makan dan minum. Sedangkan hal yang menggambarkan keadaan masyarakat adat tanpa hutan ibarat ‘Werbu Wobolok’, yang bermakna dia punya tulang belakang tetapi sudah patah.”
*Honorable Mention Lomba Foto Cerita Kisah-kisah Perubahan Iklim
Penyunting Teks: Tim Iklimku