Hujan masih mengguyur Yogyakarta di pekan kedua Februari. Pernah di dalam pekan itu hujan turun beberapa hari tanpa jeda. Tapi, hari ini cuaca berubah. Matahari sudah terasa menyengat ketika dentang jam belum sampai di pukul sembilan saat saya sampai di Pasar Induk Buah dan Sayur Gemah Ripah, Gamping.
Pasar Gemah Ripah adalah tempat transaksi buah dan sayur bagi warga yang berasal dari Yogyakarta, Kebumen, Purworejo, Banjarnegara, Cilacap, Majenang, bahkan Cirebon. Pasar ini pernah beberapa kali pindah lokasi. Awalnya di Jalan Sriwedani—selatan Pasar Beringharjo, kemudian dipindah ke perempatan Pelem Gurih, Jalan Wates. Lalu, Pemerintah Kabupaten Sleman kemudian memindahnya lagi ke lokasi yang saya datangi ini, Jalan Wates, Ambarketawang, Gamping. Pasar Gemah Ripah ini berdiri di atas lahan 1,5 hektare dengan enam blok yang memuat 154 kios.
Pasar ini masyhur berkat keberhasilannya menjalankan proyek rintisan instalasi pembangkit listrik berbahan biogas yang dikerjakan secara kolaboratif oleh Universitas Gadjah Mada (UGM), Pemkab Sleman, dan Koperasi Pasar Gemah Ripah. Pembangkit Listrik Biogas Gamping di pasar ini menggunakan bahan baku sampah buah yang berasal dari kios-kios di pasar.
Deru mesin truk pengangkut sampah terdengar dari arah pojok barat daya pasar. Di dalam bak truk itu, dua lelaki menyusun tumpukan-tumpukan sampah. Beberapa rekan kerja mereka yang berada di luar truk menunggu instruksi untuk lanjut sebelum menutup muatan truk dengan terpal.
“Sekarang ini Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan cukup padat. Sopir truk harus antre dua hingga tiga jam untuk bisa membuang sampah di sana,” ujar Diono. Diono adalah salah satu dari sepuluh tenaga kebersihan pasar yang setiap hari bertugas memuat sampah dari kios-kios di sana. “Dalam kondisi normal, antrean hanya makan waktu maksimal 15 menit,” lanjutnya.
Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) yang lebih lazim disebut TPA Piyungan adalah lokasi pemrosesan akhir sampah dari Yogyakarta, Bantul, dan Sleman. Pernah beberapa kali TPA Piyungan ditutup sementara karena kelebihan kapasitas ataupun demi perbaikan sarana prasarana. Biasanya, penutupan berlangsung kurang dari seminggu. Namun, dampak penutupan sementara itu sangat signifikan. Sampah-sampah menumpuk di mana-mana, tidak hanya di pinggir-pinggir jalan dan di pasar, tetapi juga di pelosok kampung Yogyakarta.
Di saat antrean buang sampah sedang padat seperti saat ini, keberadaan Pembangkit Listrik Biogas Gamping telah menyelesaikan dua masalah sekaligus: pengolahan sampah secara mandiri dan sumber energi untuk dinikmati secara komunal.
Awal Mula Kerja Kolaboratif
Sosok Suharsini tidak bisa dilepaskan dari proyek rintisan Pembangkit Listrik Biogas Gamping. Perempuan ini adalah pedagang buah, anggota koperasi, dan pernah menjabat Ketua Koperasi Pasar Gemah Ripah pada periode 2003-2015.
“Tahun 2003, masalah sampah di pasar ini cukup merepotkan. Separuh pasar isinya sampah semua,” cerita Suharsini (60 tahun).
Sebagai lulusan program studi Budidaya Perkebunan, Institut Pertanian Yogyakarta, ia mafhum sampah bisa diolah. Merasa pengetahuannya terbatas, ia giat mencari pelatihan pengelolaan sampah. “Pengetahuan pertama yang saya pahami adalah teknik alami pengomposan. Itu yang saya lakukan. Teknik pengomposan ini tentu saja menimbulkan bau. Warga desa protes pada kami,” ujarnya.
Bagaimana Suharsini tidak kewalahan? Sampah pasar bisa mencapai empat ton per hari. Pada waktu itu, kerja sama Pasar Gemah Ripah dengan Balai Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Sleman adalah pengangkutan sampah dua hari dalam satu pekan. Dua kali angkut dalam satu hari. Artinya, dalam satu pekan, BLH hanya sanggup mengangkut 16 ton sampah Pasar Gemah Ripah ke TPA Piyungan. Padahal, dalam sepekan tumpukan-tumpukan sampah ini bisa mencapai angka 24 ton.
“Selisih delapan ton sampah ini tentu menjadi masalah. Sisa delapan ton ini terus menumpuk, dan menumpuk. BLH kemudian meminta pasar untuk menyelesaikan saja proses pengomposan sampah yang sudah berjalan. Semua sisa sampah yang baru dibawa ke TPA. Ini dilakukan sembari menunggu sarana dan prasarana pengelolaan sampah di pasar siap,” sambung Suharsini.
Pada 2007, Rahman Sudiyo dan Siti Syamsiah, dua dosen di Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik UGM berhasil meyakinkan University of Borås dan Pemerintah Kota Borås, Swedia, untuk membiayai proyek rintisan pengelolaan energi biogas berbahan sampah. Untuk menjalankan proyek antarnegara ini, Pemkab Sleman membutuhkan mitra yang memiliki pengalaman mengelola sampah. Dari sinilah kemudian Suharsini terlibat.
“Waktu itu UGM melakukan serangkaian survei,” kata Suharsini. “Mereka meneliti kombinasi dua jenis buah, untuk menguji seberapa besar kandungan gas metan yang diperlukan. Misalnya kombinasi semangka dengan buah A, nanas dengan buah B, anggur dengan buah C. Ada mahasiswa yang bertanggung jawab membuat mesin pencacah. Ada yang membuat mesin pemisah.”
Selama proses ini, Haris Joni Rimbawan, anggota tim akademisi dari Fakultas Teknik UGM, bertukar pikiran dengan Suharsini. Haris bersama dua koleganya—Anggun Tati Rahmada Wardani dan Fajar Marendra—adalah penerus proyek yang digagas oleh Rahman Sudiyo dan Siti Syamsiah, yang telah mendiang pada 2015 dan 2016.
“Kami memasukkan 16 truk kotoran sapi ke dalam dua unit biodigester. Kotoran sapi berfungsi sebagai starter, sumber energi bagi mikrobia. Dua-tiga minggu setelahnya, kami bisa memasukkan sampah buah,” jelas Haris. Secara teori, empat ton sampah mampu hasilkan 330 Nm³ gas dan potensi listrik sejumlah 550 kWh per hari. Produksi biogas di bawah 50% hanya bisa untuk memasak atau menyalakan lampu petromaks. “Antara hari ke-60 dan 70, terbukti biogas mampu melakukannya,” lanjut Haris.
Dalam pantauan Tim UGM, biodigester ini ternyata mampu memproduksi banyak gas. Produksinya terus meningkat hingga mencapai 70-80%. “Memasuki bulan ketiga atau keempat malah melampaui 110%” seru Haris berbinar. “Dari sana kami menyimpulkan, biogas ini berpotensi ditingkatkan manfaatnya menjadi listrik.”
Pada 2011, produksi biogas berlimpah ini berhasil menjadi sumber energi menyalakan genset. “Rasanya senang sekali begitu kemudian melihat lampu menyala,” kenang Suharsini.
Listrik dari Pembangkit Listrik Biogas Gamping telah mampu menyalakan dua titik lampu LED berdaya 10 watt di seluruh 154 kios. Selanjutnya, ia juga mampu menyalakan sembilan titik penerangan jalan umum di dalam pasar, masing-masing lampu LED berdaya 50 watt.
Selain bisa mengefisiensikan biaya untuk listrik, konsistensi mengolah sampah seperti di Pasar Gemah Ripah ini sesungguhnya juga adalah satu langkah nyata untuk mengurangi efek gas rumah kaca.
Bermain dengan Mikrobia, Memahami Karakternya
Bekerja dengan bahan baku sampah buah membutuhkan ketekunan ekstra. Ini salah satu tantangan pengelolaan biogas untuk menekan ketergantungan kita pada energi fosil. “Kualitas bahan baku sampah buah sulit dijaga kestabilannya. Beda dengan batubara. Batubara hari ini atau bulan depan akan sama kualitasnya,” papar Fajar. “Sedangkan kualitas buah sisa tidak bisa sepenuhnya dikontrol. Ada kapasitas yang harus terpenuhi untuk mencapai kestabilan tertentu,” lanjut akademisi UGM itu.
Saat ini, nyaris sepanjang tahun, bahan buah yang ada adalah jeruk. Jumlahnya bisa mencapai 80% dari keseluruhan buah yang diperdagangkan. “Desain awal biodigester memang tidak kuat dengan unsur limonene jeruk. Gas limonene dapat memengaruhi daya produksi gas metan. Maka biodigester perlu disesuaikan lagi,” kata Fajar. Ambang aman biodigester Gamping adalah mengolah dua ton sampah. Kandungan limonene yang bisa diterima bisa dimulai dari 10%-nya. Berarti sampah jeruk yang bisa masuk sejumlah 200 kg berikut kulitnya.
Tumpukan jeruk busuk dan buah naga di depan kios dalam pasar. Tim kebersihan pasar yang mengumpulkan sisa buah untuk biogas telah terlatih untuk memilih buah sisa yang masih layak pakai untuk dijadikan bahan baku. Buah jeruk saat ini masih mendominasi jenis buah sisa yang berakhir di keranjang sampah. Mikrobia di dalam biodigester memerlukan waktu dan pembiasaan agar mampu mengolah unsur limonene.
“Kita bermain dengan mikrobia. Mereka makhluk hidup. Jika kita beri mereka pembiasaan, mereka akan belajar dan terbiasa juga,” sambung Fajar. “Berdasar penelitian, kalaupun murni hanya jeruk sebagai bahan mentah, ia tetap menghasilkan biogas juga. Konsentrasi gas metan yang dihasilkan memang lebih kecil.” Sebetulnya ada mikrobia yang masih tahan dengan kondisi ini. Jika ditambahkan dengan buah yang lain, aktivator, dan lain sebagainya, ketika terus dilatih, Fajar meyakini proses ini tetap masih bisa mencapai standar yang diharapkan.
Sejak awal, Pembangkit Listrik Biogas Gamping dirancang dengan konsep kemandirian dalam pengelolaan, perawatan, dan pemeliharaannya. Walaupun konsep dasarnya mengadopsi teknologi yang dipakai di Kota Borås. Desain yang ada di Gamping ini disesuaikan dengan iklim dan jenis sampah yang ada di Indonesia. Pembangkit Listrik Biogas Gamping menggunakan bakteri dari kotoran sapi sebagai starter. Sedangkan di Borås, mereka sudah menggunakan rekayasa genetika agar sampah organiknya lekas terurai.
“Mereka [Negara Swedia] berharap kita mengadopsi teknologi sekaligus membeli starternya dari mereka juga. Tetapi, Bu Siti bersikukuh menggunakan teknologi dan bakteri dari tempat kita sendiri agar tidak bergantung pada sumber daya dari Swedia,” kenang Haris.
Berbuah Kesuksesan
Ketika Pembangkit Listrik Biogas Gamping ini mulai, salah satu survei yang dilakukan adalah antisipasi untuk menghadapi rencana penutupan TPA Piyungan pada 2012. Selaku Ketua Koperasi Gemah Ripah, Suharsini menargetkan pada tahun tersebut Pasar Gemah Ripah sudah tidak lagi membuang sampah ke TPA Piyungan. “Kalaupun ada, mungkin tinggal sisa-sisanya saja,” katanya.
Bersamaan dengan itu, Suharsini memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di Magister Sistem Teknik, Departemen Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada. Studi yang ia pilih adalah Minat Pengelolaan Sampah Perkotaan. Hal ini dilakukannya karena ia merasa membutuhkan ilmu tambahan untuk mengatasi persoalan sampah serta untuk menambah wawasannya tentang energi terbarukan. Di matanya, sampah adalah sumber daya.
Suharsini merasa beruntung karena persoalan yang ia hadapi di pasar berkembang menjadi laboratorium lapangan UGM. Keberuntungan lain yang ia rasakan adalah bertemu dengan mitra yang miliki visi serupa, Heru Saptono, pegawai Bappeda DIY, dan Siti Syamsiah, akademisi UGM. Namun, apa yang mereka kerjakan rupanya tidak sepenuhnya berjalan mulus. Pemerintah Kabupaten Sleman memprediksi proyek ini akan mangkrak.
Ia bersama Heru dan Siti semakin tertantang untuk membuktikan bahwa keraguan itu tidak beralasan. “Saya sampai tinggal di pasar hingga pukul 23.00 mengawasi para pekerja mengangkat sampah buah agar paginya kami bisa mengolah dua hingga tiga kali. Saya pekerjakan 25 pemulung dari Magelang, beri mereka gaji untuk mengolah sampah itu,” kenang Suharsini.
Suharsini sepenuhnya mafhum, urusan sampah dan lingkungan memerlukan kerja sama banyak pihak. Pembangkit Listrik Biogas Gamping mampu berjalan hingga sekarang karena ada pihak-pihak yang telah bersepakat untuk berbagi peran dan dukungan. Koperasi Gemah Ripah mengelola sampah. Penguasaan teknologi disediakan pihak UGM, mulai dari perancangan hingga pemeliharaan. Negara Swedia mendukung pendanaan untuk memproses bahan mentah menjadi gas, pembangunan gedung, pemasangan instalasi biogas, hingga peralatannya. Sedangkan Pemkab Sleman memberikan bantuan untuk proses gas menjadi listrik, mulai dari pemasangan instalasi listrik, pembelian genset, hingga lampu penerang.
“Berkecimpung di bidang lingkungan, tantangannya bukan cuma biaya. Dibutuhkan juga kemauan keras, komitmen kuat, perjuangan gigih, dan juga dana yang aman agar sebuah prakarsa benar-benar berhasil dan beroperasi secara konsisten,” tegas Suharsini. Baginya, peranan pemerintah itu vital. Prakarsa di bidang lingkungan tidak bisa bekerja sendiri. Ia gembira dan akan tetap berkeyakinan bahwa pemerintah setempat akan memberi perhatian dan dukungan kepada proyek-proyek lain seperti ini.
Sering orang bertanya kepada Suharsini, apakah setimpal antara investasi miliaran dengan hasil yang dicapai oleh Pembangkit Listrik Biogas Gamping.
“Perlu diingat, jika pasar bersih, warga pasar kesehatannya baik, berapa yang bisa dihemat karena frekuensi berobat ke dokter menjadi nol? Jika pasar bersih, pejabat masuk, ibu sosialita bersepatu jinjit cantik senang datang dan berbelanja, itu akan berpengaruh ke omzet pedagang. Jadi, mikirnya harus sampai ke sana,” tegas Suharsini.
![](https://sgp1.digitaloceanspaces.com/p.storage/wp-content/uploads/2023/02/20225649/Suasana-salah-satu-kios-di-Pasar-Gemah-Ripah..jpg)
Kesuksesan Pembangkit Listrik Biogas Gamping telah menarik minat orang-orang untuk datang dan belajar tentang pengolahan biogas dari sampah mentah. Mulai dari Departemen Transmigrasi, PD Pasar Jaya Jakarta, Badan Lingkungan Hidup PBB, hingga warga negara Timor Leste, Vietnam, dan lembaga asal Jerman. Dan Suharsini merasa memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga keberlangsungan pembangkit listrik ini. “Apabila terus dipertahankan, bukan mustahil listrik di pasar bisa nyala 24 jam menggunakan sumber daya biogas ini. Tidak perlu khawatir lagi jika ada pemadaman bergilir atau listrik tiba-tiba mati karena cuaca buruk,” ujar Suharsini.
Di ujung obrolan kami, pandangan Suharsini menerawang. “Saya belajar banyak dari semangat mendiang Bu Siti Syamsiah. Beliau bermimpi kalau proyek ini akan bisa diterapkan juga di daerah transmigrasi, daerah-daerah yang masih sulit dijangkau listrik PLN. Dengan begitu, kemandirian energi sudah disiapkan sejak awal,” kata Suharsini dengan mata berkaca-kaca.