
Satu kemeja bermerek Zara, satu kemeja H&M dan sweater hitam Uniqlo. Itulah yang saya dapatkan usai menyusuri jajaran rak salah satu gerai pakaian bekas di Yogyakarta. Ratusan hingga ribuan pakaian bertumpuk di sepanjang lorong. Di bagian depan rak terpasang sebuah penanda bertuliskan “100K 3 PCS” atau Rp100.000 untuk tiga potong pakaian. Sebuah ajakan untuk membeli lebih banyak pakaian dengan harga yang lebih murah.
Banyak waktu yang perlu dihabiskan oleh pengunjung untuk menemukan “harta karun” di lorong-lorong panjang pasar pakaian bekas ini. Seperti saya yang menghabiskan kurang lebih satu jam untuk menyusuri seluruh lorong panjang ini hingga bersua “harta karun” yang dicari; pakaian dengan model unik atau busana dari jenama ternama yang masih layak pakai dan diobral murah. Harga murah ini memang menggiurkan. Kemeja Uniqlo, misalnya, bisa ditebus dengan harga Rp30.000. Sementara celana jeans Levi’s sudah bisa dibawa pulang hanya dengan membayar Rp30.000 hingga Rp50.000 saja.
Pengunjung memilih pakaian bekas di Pasar Senen, Jakarta, Agustus 2024.
Apa yang saya lakukan ini adalah apa yang sekarang dikenal sebagai thrifting, sebuah kegiatan mencari dan membeli pakaian bekas. Di Yogyakarta, aktivitas ini populer dengan sebutan ngawul atau awul-awul, di Surabaya dikenal sebagai cakaran atau obok-obok. Di Bandung, karena pusat pakaian bekas ada di Cibadak Mall, maka istilah yang kerap digunakan adalah cimol, akronim dari nama mal itu. Belakangan, istilah thrifting, yang berasal dari kata ‘thrift’ atau ‘hemat’, menjadi lebih universal dan berkembang.
Mulanya thrifting ditujukan sebagai alternatif bagi masyarakat ekonomi rendah untuk membeli pakaian bekas layak pakai. Pakaian-pakaian tersebut dijajakan di pasar-pasar tradisional, ditumpuk di atas terpal dan diobral murah seperti saat Sekaten, pasar malam musiman yang berlokasi di Alun-alun Utara Yogyakarta. Di Sekaten ini pula Surya Damar (27), pemuda asal Yogyakarta, mengenal awul-awul. Ia masih SMA ketika bapaknya pertama kali mengajaknya ke Sekaten. Faktor ekonomi menjadi alasan orang tua Surya itu gemar ngawul.
“Waktu itu memang secara ekonomi dari uang yang ada inginnya dapat pakaian merek yang bagus, jadi langsung cari di Sekaten,” kata Damar yang sekarang juga mengadopsi kebiasaan bapaknya itu. Menurutnya, yang seru dari thrifting adalah kegiatan berburu “harta karun” itu sendiri. Terakhir, Damar mendapatkan sepotong kemeja corduroy merek Uniqlo berharga murah di lokapasar Facebook.
Cerita serupa disampaikan oleh Nurul Latifah (24). Ia mengenal aktivitas thrifting ini sejak masih SMP ketika ia diajak kakak-kakaknya untuk ngawul di Sekaten. Model pakaian yang Nurul sukai adalah yang bergaya vintage, retro hingga streetwear. Pakaian bergaya unik ini biasanya kerap menjadi barang langka atau rare item di pasaran. Bagi Nurul, berpakaian merupakan satu cara untuk mengekspresikan diri. Ditambah lagi pakaian yang diproduksi bertahun lalu cenderung menggunakan bahan yang berkualitas dan lebih awet dibanding produksi terkini.
Dari cerita Damar dan Nurul bisa tergambarkan alasan mengapa thrifting menjadi semakin populer; pakaian berharga murah, model yang unik dan menarik, produk dari berbagai merek mode tersohor.
Pengunjung memilih aneka sandang bekas di Pasar Senen, Jakarta, Oktober 2024.
Alasan lain juga muncul bersamaan dengan semakin banyaknya diskusi mengenai manfaat thrifting bagi lingkungan baik di media sosial, media massa hingga artikel dan jurnal. Thrifting disebut sebagai salah satu alternatif berbelanja pakaian yang ramah lingkungan. Harapannya, aktivitas ini bisa memberi umur yang lebih panjang bagi pakaian bekas serta bisa mengurangi limbah tekstil yang kian menumpuk di tempat pembuangan akhir (TPA). Thrifting juga diharapkan mampu mengurangi emisi karbon dan pencemaran air akibat produksi pakaian.
Maka, tidak heran jika banyak masyarakat melakukan aktivitas thrifting ini sebagai gaya hidup. Tidak hanya anak muda, berbagai kalangan umur dari kelas ekonomi yang berbeda kini mulai meramaikan tren membeli pakaian bekas. Sebab itu, ekosistem thrifting tumbuh pesat dan merambah ke berbagai medium.
Pengunjung memilah pakaian bekas di Pasar Senthir, Oktober 2024. Pasar Senthir merupakan salah satu destinasi perburuan barang-barang loak (Jw: klithikan) di area Malioboro, Yogyakarta.
Salah satu medium di mana awul-awul –kini juga populer disebut thrift shop– semakin menjamur adalah media sosial, seperti Instagram dan TikTok. Di dua media sosial ini, thrift shop begitu marak dengan toko-tokonya yang memiliki pengikut mencapai puluhan hingga ratusan ribu. Biasanya, berbagai toko pakaian bekas di Instagram fokus menjual pakaian dengan kategori atau fesyen tertentu. Misalnya, pakaian wanita atau kemeja laki-laki atau sepatu olahraga atau jaket dan seterusnya.
Thrift shop tersebut menggunakan sistem penjualan yang serupa. Mengunggah kelompok pakaian terbaru pada jadwal tertentu dan mengiklankan jam tayang pakaian dengan sistem pembelian first pay first get. Bahkan ada sejumlah toko yang menerapkan sistem pelanggan VIP, membayar keanggotaan untuk bisa melihat dan membeli pakaian keluaran terbaru lebih dahulu. “Biasanya, toko yang memang followersnya banyak mereka cepat banget sold outnya jadi kadang sulit dapat barangnya. Barangnya tidak harus dari brand terkenal, tapi secara kualitas, bahan, model, kondisi itu bagus dan seperti baru,” kata Nurul yang kini juga berbelanja melalui Instagram.
Seorang model memperagakan rancangan finalis Lomba Perancang Aksesoris (LPA) Aisyah Andamari berjudul “The Dispossessed: Terra”, di Jakarta Fashion Week (JFW) 2025, Pondok Indah Mall 3, Jakarta, Oktober 2024.
Sementara di TikTok, kebanyakan thrift shop menggunakan fitur live streaming. Kinan (26) menggunakan fitur ini untuk menjual barang dari tiga thrift shop yang ia kelola. Jenis pakaian yang ia jual beragam, mulai dari celana pendek, rok, blazer hingga gaun. Dalam satu hari, Kinan biasanya akan melakukan dua kali siaran langsung di TikTok dan bisa mengirim hingga 150 paket. Pakaian yang ia jual dibanderol dengan harga Rp12.000 sampai Rp80.000, tergantung kualitas dan model. Omzet kotor yang diperoleh Kinan dari penjualannya mencapai Rp50.000.000 per bulan.
Masifnya thrift shop di media sosial tidak serta-merta membunuh pasar pakaian bekas konvensional yang sudah eksis sejak lampau.
Pasar Senen di Jakarta yang sudah lama dikenal dengan reputasinya sebagai pusat pakaian bekas impor berharga murah, masih dipadati oleh pengunjung. Malah, thrift shop yang lahir di media sosial kini marak mendirikan toko fisik. Di sisi selatan Yogyakarta, misalnya, berderet puluhan thrift shop rumahan yang ramai didatangi pengunjung dari berbagai kalangan. Toko-toko ini menambah angka thrift shop fisik yang eksis sejak masa lampau, seperti Pasar Senen itu.
Berkembangannya thrifting menjadi budaya populer juga ditandai dengan lahirnya festival pakaian bekas, seperti Jogja Second Fest. Tahun ini menjadi gelaran ke-9 Jogja Second Fest dengan lebih dari 30 thrift shop yang ikut berpartisipasi. Tidak hanya itu, tren thrifting ikut naik daun karena Citayam Fashion Week di Dukuh Atas, DKI Jakarta. Kegiatan yang ramai pada 2022 ini erat hubungannya dengan aktualisasi diri dan identitas. Alasannya sederhana, pakaian unik yang murah meriah menyokong kebutuhan mengekspresikan diri. Mengutip laporan Tribunnews, aksi para remaja yang berlenggak-lenggok di penyeberangan pejalan ini juga banyak memanfaatkan pakaian bekas untuk tampilan modis yang mereka pamerkan itu.
Jamak diketahui, pakaian bekas yang dijual di thrift shop merupakan barang impor yang sebelumnya adalah sampah di negara asalnya. Tumbuhnya thrifting sebagai tren telah menggenjot permintaan pasokan pakaian bekas. Artinya, semakin banyak sampah tekstil yang diimpor ke Indonesia. Alih-alih mengurangi limbah tekstil di TPA, tren ini malah telah menambah limbah pakaian yang masuk ke Indonesia. “Karena ini kan baju-baju bekas yang dibuang, lalu dipilih yang masih bagus dan dikirim ke luar negeri, salah satunya ke Indonesia,” kata Jemmy Kartiwa, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API).
Pakaian-pakaian yang dijual oleh Kinan berasal dari barang yang diimpor dari Jepang, China, Korea, Australia, Taiwan dan Bangkok. Ia membeli berbal pakaian secara acak lewat Shopee atau Instagram. Harga satu bal yang berisi 100 potong pakaian adalah Rp1.500.000 dan yang termahal seharga Rp7.000.000 untuk bal yang berisi 250-300 barang. Tidak hanya pakaian bekas, Kinan mengaku banyak menemukan pakaian baru berlabel Uniqlo, Zara, Bershka atau H&M. Menurut Kinan, kemungkinan besar pakaian tersebut merupakan barang gagal atau produk yang tidak lulus uji kualitas.
Reno Saputra (28), pemilik Habiby Jaya Textile, berpose saat ditemui di gudang limbah tekstil di kawasan Cipadu, Tangerang, Banten, Agustus 2024.
Impor pakaian bekas sebenarnya sudah dilarang oleh pemerintah melalui Permendag Nomor 25 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 Tahun 2021 Tentang Kebijakan Dan Pengaturan Impor.
Pakaian bekas impor masuk ke dalam kategori larangan terbatas dan dicap ilegal. Menteri Perdagangan Zulfikli Hasan mengatakan impor pakaian bekas mengancam UMKM lokal. Pada 2023, mantan Presiden Joko Widodo pernah mengecam bisnis impor pakaian bekas. “Yang namanya impor pakaian bekas itu mengganggu, sangat mengganggu industri dalam negeri kita,” kata Jokowi dikutip dari Kompas.com.
Belakangan, ramai kabar perusahaan tekstil raksasa PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex dinyatakan pailit usai gagal melunasi hutang kepada PT Indo Bharat. Mengutip Tempo, Direktur Keuangan Sritex, Welly Sallam, mengatakan banyak faktor yang menyebabkan pendapatan Sritex menurun, salah satunya ialah kelonggaran impor produk tekstil yang membanjiri pasar domestik, baik legal maupun ilegal. “Ketika itu terjadi, kita bisa bayangkan sebulan bisa 10.000 sampai 20.000 kontainer masuk ke Indonesia dalam waktu yang sangat cepat,” ujar Welly.
Pekerja menimbang limbah kain di gudang limbah tekstil, Cipadu, Tangerang, Banten, Agustus 2024.
Sayangnya, praktik impor ilegal masih sulit diantisipasi. Menurut Jemmy, sulitnya pengawasan terhadap beratus pelabuhan kecil yang tersebar di seluruh Indonesia menjadi alasannya. Selain itu, potensi keuntungan dari penjualan yang besar juga turut melanggengkan praktik ini. Ditambah lagi karena fakor ekonomi dan kemampuan membeli masyarakat Indonesia yang kebanyakan masih rendah. Jemmy khawatir, jika praktik ini berjalan terus-menerus, maka dapat terjadi tumpukan baju bekas di TPA. Terlebih dari seluruh baju bekas yang diimpor, tidak semua dapat dijual kembali, banyak yang berpotensi berakhir di TPA, seperti Bantar Gebang di Bekasi atau Piyungan di Yogyakarta.
Tren ini datang bersama konsekuensi lingkungan yang serius. Tanpa mengimpor pakaian bekas saja angka limbah tekstil di Indonesia sudah tinggi. Berdasarkan data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada 2021 Indonesia menghasilkan 2,3 juta ton limbah tekstil. Secara global, industri tekstil menghasilkan setidaknya tujuh persen dari total limbah di seluruh dunia.
Laporan Earth.org mencatat, dari 100 milliar pakaian jadi yang diproduksi setiap tahunnya, 92 juta ton berakhir menjadi limbah tekstil. Angka ini sama dengan satu truk sampah berisi penuh pakaian bekas berakhir di tempat pembuangan setiap detiknya.
Tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) di Piyungan, Bantul, Yogyakarta, Oktober 2024. Pemerintah DIY telah menutup permanen TPST ini pada April 2024 dan mendorong masyarakat untuk mengolah sampah rumah tangganya secara mandiri.
Seluruh tumpukan limbah tekstil di seluruh dunia saat ini, menurut Global Fashion Agenda, berkontribusi terhadap 1,2 miliar ton emisi gas rumah kaca. Sementara pembakaran batu bara dari pabrik-pabrik garmen yang beroperasi selama 24 jam juga berimbas langsung pada emisi karbon. Jumlah emisi karbon akibat pabrik pakaian diprediksi terus bertambah hingga 50% pada 2040. Tidak hanya itu, industri garmen juga menyebabkan pencemaran air secara global dengan 10% mikroplastik yang berasal dari limbah tekstil mencemari laut setiap tahunnya. Pencemaran ini juga ditemukan di Sungai Citarum, Bandung. Sebanyak 70% bagian tengah Sungai Citarum tercemar mikroplastik berupa benang polyester dari pabrik-pabrik tekstil.
Pemulung memungut celana dari tumpukan sampah rumah tangga di sekitar tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) Piyungan, Bantul, Yogyakarta, Oktober 2024.
Di lain sisi, limbah dari pabrik-pabrik garmen di wilayah Jabodetabek menjadi ladang bisnis bagi pengepul limbah. Reno Saputra (28), pemilik Habiby Jaya Textile di Cipadu, Tangerang, mengatakan setiap bulannya ia bisa mengumpulkan hingga 50-ton limbah tekstil dari pabrik-pabrik dan konveksi di sekitar Jabodetabek. Ia membayar Rp300 sampai Rp8.000 per kilo tergantung jenis kain. Limbah garmen tersebut ia kumpulkan untuk kemudian ia jual lagi ke pabrik benang di Jakarta, Surabaya dan Bandung.
Reno hanya satu dari banyak pengepul limbah tekstil di Jabodetabek. Jika ia bisa mengumpulkan 50 ton limbah tekstil dalam sebulan, maka jumlah limbah tekstil dari pabrik-pabrik tiap bulannya dapat mencapai ratusan ton. Angka ini belum ditambah dari sampah tekstil rumahan yang menumpuk di tempat pembuangan akhir. Mengutip Kompas.id, limbah tekstil di Indonesia diperkirakan meningkat 68 persen menjadi 3,5 juta ton di tahun 2030.
Pemulung memilah dan membakar sampah rumah tangga menggunakan tungku di sekitar tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) Piyungan, Bantul, Yogyakarta, Oktober 2024. Semenjak Pemerintah DIY menutup permanen TPST ini pada April 2024, pengiriman sampah ke kobong (istilah bagi tempat penampungan sampah yang dikelola secara mandiri oleh warga) alami peningkatan.
Menurut analisis dari ABC News, pasar pakaian bekas dibangun untuk meningkatkan konsumsi, bukan menurunkan. Sebab, jika bertujuan menurunkan konsumsi, maka hadirnya thrift shop seharusnya dapat mengurangi jumlah produksi pakaian dan sampah tekstil di masa depan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Catatan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia (Bappenas) pada Kompas.id menyebut tingkat konsumsi pakaian di Indonesia meningkat 60% dibanding 15 tahun terakhir. Setidaknya, tiga dari sepuluh orang Indonesia membuang pakaiannya setelah sekali pemakaiannya.
“Oxymoron”, Banyubening Safaraja
Konsumersime yang tinggi ini salah satunya dipicu oleh kemudahan membeli barang karena harga yang murah. Nia, seorang penjaga toko di Pasar Senen, mengaku pengunjung yang datang bisa menghabiskan uang ratusan hingga satu juta rupiah untuk berbelanja. Lalu, berbagai promo yang ditawarkan, seperti membeli tiga pakaian dengan harga Rp100.000, juga menjadi stimulus bagi para pembeli.
Dino Augusto, dosen fashion di La Salle Collage Jakarta, menjelaskan bahwa perilaku konsumtif ini didorong oleh dua hal. Pertama, self-gratification, dorongan ingin menghadiahi diri sendiri namun dilakukan dengan cepat dan usaha atau uang seadanya. Kedua, social pressure, bahwa sandang dinyatakan sebagai pemangku status seseorang yang diekskalasi oleh media sosial di mana citra diri seseorang dibentuk dan dinilai. Akibatnya, muncul keinginan membeli secara impulsif yang diakomodasi harga murah lewat thrift shop.
Pekerja memuat sisa kain di gudang limbah tesktil di kawasan Cipadu, Tangerang, Banten, Agustus 2024.
Hal ini tentu menimbulkan tumpukan pakaian di lemari yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Sehingga, banyak dari pakaian itu yang berakhir di tempat pembuangan sampah, mengganggu ekosistem lingkungan dan berdampak pada perubahan iklim.
Karena itulah edukasi untuk menurunkan konsumsi pakaian sangat penting. Menurut Dino lagi, berbelanja harus dengan proses, artinya membeli yang berkualitas dan hanya dilakukan ketika dibutuhkan. Dengan begitu, daya pakai juga akan menjadi lebih lama. “Kita harus menyadari bahwa perubahan iklim itu terjadi dan datang dari hal yang paling kecil, dari kebiasaan-kebiasaan kita sehari-hari,” ujar Dino.
Industri mode cepat –fast fashion, dengan produksi dan strategi pemasarannya, berandil terhadap konsumerisme yang tinggi ini. Cepatnya mode pakaian berganti cukup berhasil mendorong pembeli untuk datang membeli pakaian lagi. Namun, derasnya siklus mode ini juga mengakibatkan sisa produksi menumpuk. Sisa inilah yang kemudian diimpor secara ilegal dan dijual sebagai barang thrifting. Kinan, pemilik thrift shop, kerap menemukan selusin pakaian berlabel H&M, Uniqlo, Zara dan berbagai jenama dari industri mode cepat lainnya yang masih baru dalam satu bal yang sama.
Tingginya produktivitas industri mode cepat ini juga berdampak pada perubahan iklim. “Pakaian yang diproduksi secara kilat itu berimbas kepada produksi emisi karbon dari pabrik yang secara aktif memproduksi pakaian selama 24 jam,” kata Dino. Buangan limbah dari pewarna kimiawi yang digunakan oleh industri mode cepat ini mencemari air sungai. Sementara bahan polyester yang banyak dipakai oleh jenama fast fashion bukanlah serat alami, sehingga sulit terurai ketika menjadi sampah. Di sisi lain, lanjut Dino, perputaran barang ke seluruh dunia menggunakan kapal dan pesawat juga telah meninggalkan jejak karbon yang tinggi.
Salah satu upaya yang muncul dari masyarakat untuk menambah umur pakaian tanpa menambah volume sampah adalah lewat gerakan alternatif melawan konsumerisme. Gerakan Saling Silang contohnya yang dilakukan oleh komunitas Lyfewithless. Awalnya, gerakan ini hadir melalui grup Telegram anggota komunitas gaya hidup minimalis itu yang ingin menjual atau membagikan barang sortiran yang tidak lagi dibutuhkan. Anggota grup dapat menyalurkan barang-barang tersebut kepada anggota lain yang membutuhkan, baik secara cuma-cuma atau dijual murah.
Pekerja menjahit menggunakan bahan dasar limbah sisa pakaian di kawasan Cipete, Jakarta, Agustus 2024.
“Ada dua telegram grup, ada yang komunitas Lyfewithless sendiri yang secara spesifik edukasi soal minimalisasi. Lalu, ada grup Telegram Saling Silang yang dikhususkan untuk jual beli atau mengadopsi barang hasil sortiran. [Masuk grup] bisa registrasi dan terbuka untuk umum,” jelas Zeilla Mutia (31), salah satu tim konten Lyfewithless.
Saling Silang kini sudah bekerja sama dengan berbagai perusahaan untuk mengadakan acara bersaling-silang di kantor. Pengunjung diperbolehkan datang membawa maksimal lima barang layak pakai yang akan dikurasi untuk dinilai kelayakannya. Jika masih layak, maka pengunjung akan mendapatkan token berupa tutup botol yang dapat ditukar dengan barang lainnya.
“Salah satu alasan kenapa kami memakai token itu supaya kita tidak merasa ada power of money dari barang ini. Semuanya sama, nilainya sama,” lanjut Zeilla.
Seniman daur ulang Intan Anggita Pratiwie, salah satu pendiri Setali, berpose di Jakarta, Agustus 2024.
Tak jauh berbeda dengan Saling Silang, Dina Natasha (25) menginisiasi Gerakan Putarpakai. Kegemaran Tasha untuk thrifting kemudian membawanya pada rasa peduli terhadap lingkungan. “Awal-awal thrifting dulu belum muncul kesadaran soal lingkungan. Tapi, lama kelamaan semakin sadar sehingga sekarang aku lebih mindful soal apa dampak ke lingkungan dari hal sehari-hari yang dilakukan,” kata Tasha. Ia lalu mulai mengajak teman-teman satu kosnya untuk bertukar pakaian. Alasannya sederhana, pakaiannya menumpuk dan banyak yang tidak lagi ia kenakan. Setiap minggu, Tasha bersama teman-temannya saling bertukar pakaian.
Kini, Putarpakai telah tumbuh menjadi kios tukar-sandar dan koleksi guna-ulang yang membuka lapak di pasar mingguan Yogyakarta dan Semarang. Di Kios Putarpakai, pengunjung dapat membawa tiga barang, tidak hanya pakaian, untuk ditukar dengan barang lain. Pengunjung juga bisa membeli sejumlah barang bekas pakai dengan harga murah.
Limbah tekstil untuk didaur ulang di kawasan Cipete, Jakarta, Agustus 2024.
Cerita lain datang dari Intan Anggita Pratiwie, seorang pegiat fesyen. Sejak 2004, Intan sudah hobi thrifting di Cibadak Mall atau Gedebage, Bandung. Ia mencari pakaian yang menurutnya unik untuk kemudian ia desain ulang di penjahit langganannya. Lalu, keresahan akan limbah tekstil yang menumpuk membawanya dan Andien Aisyah untuk menggagas Setali, sebuah gerakan sosial untuk sustainable fashion, pada 2018. Tujuan dari organisasi nonprofit ini adalah untuk mengelola limbah tekstil.
Setali beroperasi dengan membuka donasi pakaian. Jika dalam kondisi bagus, pakaian akan dijual kembali melalui Shopee dan Instagram Live atau didaur ulang menjadi pakaian baru. Jika kondisi tidak baik, maka Setali akan menyalurkan pakaian sebagai suplai kain kepada pabrik atau bisnis lain yang membutuhkan. Sejak didirikan, Setali sudah berhasil memproduksi kembali 30.000 pakaian, mengoleksi 30 ton limbah pakaian dan berkolaborasi dengan 30 perusahaan.
Di Setali, pemberi donasi harus membayar Rp 50.000 per 10 kg pakaian yang akan ditukar dengan tas jinjing atau pakaian baru dari limbah tekstil yang didonasikan. Tetapi, banyak masyarakat yang belum bisa menerima konsep membayar ketika memberikan donasi pakaian ini. “Tapi di satu sisi, kami kan ngurusin sampahnya donatur dan ada pegawai yang perlu hidup dari dedikasi untuk ngurusin sampah itu,” jelas Intan.
Pakaian jadi yang dijahit berbahan dasar limbah sisa pakaian di kawasan Cipete, Jakarta, Agustus 2024.
Gerakan-gerakan yang lahir ini tentu perlu mendapatkan atensi. Kesadaran akan pengelolaan sampah tetap membutuhkan sistem pengelolaan yang jelas dari pemerintah. Baik Zeilla dan Tasha mengeluhkan belum pakemnya sistem untuk pengolahan limbah, khususnya tekstil. Jika komunitas dan masyarakat secara individual sudah bergerak, kata Zeilla, pemerintah seharusnya bisa mengakomodir dengan sistem pengolahan yang jelas.
Tidak terbatas pada regulasi pengolahan limbah dan pelarangan impor, ketegasan terhadap perusahaan-perusahaan retail raksasa juga patut dilakukan. Sebab, industri ini turut berperan dalam menghasilkan limbah dan mencemari lingkungan. Jika tidak, maka banyak orang yang akan menjadi korbannya.