Menjaga Lingkungan Lewat Biogas

TPA Leuwigajah, Cimahi, Bandung, meledak. Tragedi tersebut hanya salah satu contoh dampak buruk pengelolaan sampah yang tidak ramah lingkungan.
Foto & Teks:
Fahreza Ahmad
Rabu, 21 September 2022

Yusnidar memasak dengan memanfaatkan gas metana yang diurai dari limbah tinja di kompleks Instalasi Pengolahan Limbah Tinja (IPLT) Banda Aceh. Sejak 2015 hingga saat ini, Yusnidar beserta tiga tetangga lainnya memanfaatkan gas metan tersebut. Mereka menggunakannya untuk kebutuhan memasak dan menerima pesanan kue untuk membantu ekonomi keluarga. Bagi Yusnidar, yang suaminya bekerja sebagai operator alat berat di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Kampung Jawa, Banda Aceh, gas metan itu bisa meringankan pengeluarannya. “Dalam sebulan kami bisa menghemat 300 hingga 400 ribu rupiah ketimbang harus membeli gas elpiji,” ungkap Yusnidar.

Edo, petugas truk penyedotan tinja yang juga tinggal di kompleks IPLT, menerangkan bahwa sepanjang tahun gas metan hasil penguraian limbah tinja mengalir dengan baik. “Tak ada masalah,” jelas Edo.

Edo melanjutkan, sebelumnya, gas metan dari reaktor limbah tinja dialirkan terlebih dahulu ke TPA Kampung Jawa. Gas itu kemudian digabungkan dengan gas metan hasil penguraian sampah organik sebelum dialirkan ke rumah-rumah warga di dua desa sekitar TPA. Namun, dalam tiga tahun terakhir saluran pipa gas metan dari IPLT ke TPA ditutup oleh Pemerintah Kota Banda Aceh. Akibatnya, saat ini hanya warga di kompleks IPLT yang dapat memanfaatkan biogas tinja. “Untung bagi kami karena sekarang gas metan tinja dapat mengalir lebih lancar,” ujarnya.

Yusnidar (35), seorang ibu rumah tangga, memanfaatkan gas metan yang berasal dari limbah tinja untuk memasak.
Gelembung air yang berasal dari gas metan reaktor biogas tinja manusia di Banda Aceh.
Setiap hari reaktor biogas IPLT Kampung Jawa menerima 30 m³ lumpur tinja dari 7 mobil tangki yang diambil dari rumah warga di Banda Aceh dan sebagian Kabupaten Aceh Besar.
Jaringan pipa yang menjadi terminal gas metan sampah organik sebelum dialirkan menuju unit kompresor di TPA Kampung Jawa.
Air lindi disiram di atas gundukan sampah setinggi 33 meter di TPA Kampung Jawa, Banda Aceh, untuk mempercepat proses fermentasi sampah organik menjadi gas metan.

Kompleks IPLT bersebelahan dengan TPA Kampung Jawa. TPA Kampung Jawa sebenarnya juga memiliki fasilitas penguraian sampah organik menjadi gas metan yang sama-sama dimulai sejak 2015. Namun, berbeda dengan gas metan tinja, saat ini gas metan hasil penguraian limbah organik TPA Kampung Jawa sudah nyaris habis.

Menurut Teuku Dharma, operator Biogas TPA Kampung Jawa, habisnya gas metan tersebut terjadi karena TPA Kampung Jawa hanya menjadi lokasi transit sampah warga Banda Aceh sebelum diangkut lagi ke TPA Blang Bintang di Aceh Besar. Pemindahan lokasi pembuangan sampah karena TPA Kampung Jawa saat ini mengalami kelebihan kapasitas. TPA ini menerima lebih dari 200 ton limbah rumah tangga warga Banda Aceh. Tinggi gundukan sampahnya hingga mencapai 33 meter. “Sampah organik dan anorganik yang tercampur juga mempercepat kelebihan kapasitas sampah di sini,” jelas Teuku Dharma.

Padahal, sebelumnya, manfaat gas metan ini telah dirasakan 210 warga di sekitar TPA Kampung Jawa meskipun hanya pada jam-jam terbatas, yaitu pukul 08.00 s.d 12.00 WIB dan pukul 15.00 s.d 18.00 WIB.

Gas metan hasil penguraian sampah organik didorong oleh unit kompresor sederhana untuk dapat dimanfaatkan oleh warga sekitar TPA Kampung Jawa, Banda Aceh.
Kawanan kerbau mencari makanan sisa diantara tumpukan sampah di Tempat Pembuangan Akhir Blang Bintang, Aceh Besar. Saat ini, hewan ternak adalah penyumbang 16% emisi gas rumah kaca dunia ke atmosfer.
Pemulung merupakan salah satu solusi bagi persoalan sampah yang tercampur di TPA. Kendati demikian, rumah tangga memegang tanggung jawab terbesar untuk memilah sampah sebelum dibuang.

Gas metana dihasilkan ketika jenis-jenis mikroorganisme tertentu menguraikan bahan organik dalam kondisi tanpa udara. Metana dapat berasal dari berbagai sumber, salah satunya berasal dari makanan yang kita hasilkan. Proses pembusukan sampah menghasilkan gas antara lain metana (CH4), karbon dioksida (CO2), dan nitrogen oksida yang merupakan produk dari pembusukan sampah organik.

Menurut Data Statistik Lingkungan Hidup Indonesia tahun 2017, kota-kota besar di Indonesia menghasilkan limbah organik rata-rata 962 meter kubik per hari. Dari hasil penguraian tersebut, 94,64 persennya menghasilkan gas metana. Gas metana memiliki bahaya 21 kali lebih kuat ketimbang gas karbondioksida. Apabila gas metana dalam jumlah di atas terlepas, dia dapat mencemari udara dengan daya rusak 1 ton CH4 sama dengan 21 ton CO2 emisi gas buang.

Berbahayanya gas hasil penguraian limbah organik sempat memicu tragedi saat TPA Leuwigajah, Cimahi, Bandung, meledak pada Senin dini hari, 21 Februari 2005. Ledakan diduga akibat terpicu konsentrasi gas metana dari dalam tumpukan sampah. Akibatnya, 157 orang tewas dari Kampung Cilimus dan Kampung Pojok yang jauhnya 1 km dari TPA Leuwigajah pun tewas. Dua permukiman itu luluh lantak setelah tertimbun gunungan sampah sepanjang 200 meter dan tinggi 60 meter dari TPA Leuwigajah.

Tragedi TPA Leuwigajah hanya salah satu contoh dampak buruk pengelolaan sampah yang tidak ramah lingkungan. Dampak lain yang bisa terjadi, gunungan sampah bisa menyebarkan bau busuk serta mengontaminasi sumber air bawah tanah dengan cairan beracun dari proses pembusukan limbah organik.

Melihat buruknya dampak yang bisa terjadi akibat penumpukan sampah tersebut, perlu ada alternatif untuk pengolahan sampah. Salah satunya melalui pengolahan sampah menjadi biogas.

Kolam anaerobik yang mengendapkan limbah tinja menjadi pupuk kering.
Petugas menyekop pupuk kering hasil fermentasi limbah tinja di kolam anaerobik komplek IPLT, Banda Aceh.

Pembangkitan energi biogas dapat memulihkan tempat pembuangan sampah yang tercemar bahan limbah. Gunungan sampah dapat direduksi dengan produksi biogas sehingga dapat membantu meningkatkan kualitas air dan udara. Selain itu, proses anaerobik dapat menonaktifkan patogen dan parasit. Proses ini efektif mengurangi penyakit yang ditularkan melalui air. Pada akhirnya upaya ini mengarah pada perbaikan lingkungan, sanitasi, dan kebersihan.

Tak seperti bahan bakar fosil yang tak dapat diperbaharui, biogas memiliki keunggulan karena sifatnya yang terbarukan sekaligus juga ramah lingkungan. Bahan baku yang digunakan dalam produksi biogas dapat diperbarui karena pohon dan tanaman akan terus tumbuh. Sisa tanaman dan makanan kita adalah bahan mentah yang akan selalu tersedia, sehingga menjadi sebuah pilihan berkelanjutan. Gas dari limbah organik ini juga tidak menimbulkan polusi karena tidak ada pembakaran dalam proses fermentasi. Artinya, tidak ada emisi gas rumah kaca yang dilepas ke atmosfer.

Produk sampingan dari proses penguraian biogas adalah pupuk organik, baik dari limbah organik maupun tinja manusia. Pupuk organik dapat mempercepat pertumbuhan dan ketahanan tanaman terhadap penyakit. Juga dapat meningkatkan unsur hara tanah sekaligus kemampuan tanah mengikat air. Sektor agraria Indonesia selama ini banyak tergantung pada pupuk kimia yang harganya tidak murah. Pemakaian pupuk kimia secara berlebihan juga dapat mengakibatkan penurunan kesuburan tanah dan pencemaran lingkungan.

Teknologi untuk menghasilkan biogas cukup murah. Hanya perlu investasi skala kecil sehingga biodigester atau penampungan limbah organik dapat digunakan di rumah dengan memanfaatkan limbah dapur dan tinja. Umumnya, semua jenis bahan organik yang diproses menghasilkan biogas, tetapi hanya bahan organik padat dan cair homogen yang cocok untuk sistem biogas sederhana.

Diperkirakan ada tiga jenis bahan baku yang prospektif untuk dikembangkan sebagai bahan baku biogas di Indonesia, antara lain kotoran hewan dan manusia, sampah organik, dan limbah cair. Gas yang dimanifestasikan dapat digunakan langsung untuk memasak atau pembangkit listrik. Hal inilah yang memungkinkan biaya produksi biogas menjadi relatif rendah.

Petugas memuat limbah organik ke atas truk dari pasar tradisional di Banda Aceh. Pasar tradisional merupakan salah satu produsen limbah terbanyak, baik organik maupun non-organik.

Potensi biogas di Indonesia cukup melimpah, mengingat populasi penduduk yang padat dan adanya peternakan sebagai salah satu kegiatan masyarakat pertanian. Hampir semua petani memiliki ternak antara lain sapi, kambing, dan ayam. Di antara jenis ternak tersebut, sapi merupakan penyumbang gas rumah kaca terbesar yang mencapai 14,5 persen dari total emisi gas rumah kaca di dunia.

Pembangunan pabrik biogas secara efektif akan menyeimbangkan karbon sekaligus membantu memerangi perubahan iklim dan akses ke energi bersih. Memanfaatkan limbah untuk menghasilkan energi bersih dan berkelanjutan dapat menghemat pendapatan sekaligus mewujudkan lingkungan yang bersih.

Fahreza Ahmad

Fotografer dokumenter yang berdomisili di Banda Aceh. Ia mendapatkan penghargaan untuk isu lingkungan dalam Anugerah Pewarta Foto Indonesia 2018 dan Juara II Lomba Foto Cerita “Kisah-kisah Perubahan Iklim”.

Kami menerima kontibusi foto cerita untuk ditayangkan di situs ini. Tema foto cerita seputar dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan, ketahanan dan adaptasi masyarakat serta inovasi-inovasi yang dilakukan untuk menghadapi perubahan iklim. Silakan kirimkan tautan berisi foto, teks dan profil singkat ke [email protected].

Kisah Terkait