“Bicara air, bicara awal mula peradaban,” ungkap Edi Padmo, seorang anggota Komunitas Resan Gunungkidul yang kami temui siang itu. Terik matahari di atas Kapanewon Playen Kabupaten Gunungkidul DI Yogyakarta terhalang atap ‘kandang sapi’ antik yang disulap menjadi tempat cangkrukan oleh para pegiat lingkungan Resan Gunungkidul. Mereka adalah sekelompok pemuda yang berjejaring dan memiliki misi yang sama: konservasi sumber mata air. Diselingi menyantap cemilan tela goreng khas Gunungkidul, Edi Padmo beserta kawan-kawan dari Resan Gunungkidul berkisah tentang resan dan matinya sumber air di zona hidup mereka.
Resan merupakan sebutan untuk pohon-pohon besar yang berumur ratusan tahun yang berfungsi meningkatkan resapan air dalam tanah dan memiliki sistem perakaran untuk menjaga kontinuitas aliran mata air. Sebab itu, tidak semua pohon besar bisa dikategorikan sebagai resan. Umumnya, resan mempunyai ciri-ciri akar tunggang yang dalam, akar serabut yang banyak, tajuk lebar dan rimbun, tanaman berumur panjang, daun selalu hijau—tidak menggugurkan daun, dan mempunyai stomata lebih sedikit. Pohon Ara atau Beringin, Trembesi, Bambu, Jambu Alas, Gayam, Randu, Timoho, Asem, Kepuh, dan Bulu adalah beberapa resan yang lazim ditemukan di Indonesia.
Peran resan tidak terbatas pada konservasi sumber mata air secara vegetatif semata. Akar resan tak sekadar menyimpan air, namun juga menyimpan hikayat budaya setempat. Babad peradaban manusia di berbagai belahan dunia jamak berawal dari satu pohon besar yang rindang. Resan juga muncul dalam literatur agama-agama dan memengaruhi lakon kehidupan raja, ratu, ksatria, hingga rakyat jelata. Tradisi memuja resan lewat himne, mitos, dan seni telah dilakukan ribuan tahun bahkan sebelum Asoka berkuasa di lembah Indus.
Buddha diyakini mendapat pencerahan di bawah pohon besar. Dewi Mesir Kuno Hathor muncul dari dalam Pohon Ara untuk menyambut jiwa Firaun di alam baka. Raja Sumeria, Urukagina, menulis soal buah ara sekitar 5.000 tahun lalu. Raja Nebuchadnezzar II menanam pohon Ara di taman-taman gantung Babylonia. Peradaban Romawi serta Yunani Kuno menganggap buah Ara sebagai kiriman dari surga. Agama Abrahamik meriwayatkan kesucian pohon besar di pusat surga.
Di Barbados, pohon beringin adalah pemandangan pertama yang dilihat oleh Pedro A Campos, seorang penjelajah Portugis, saat kapalnya mencapai pulau tersebut di tahun 1536. Di Indonesia, pohon beringin menjadi salah satu simbol lambang negara. Ini mengingatkan kita bahwa manusia hanyalah nukilan renik dan belia dibanding sejarah resan perkasa yang telah berumur 80 juta tahun.
Di Gunungkidul ribuan resan tumbuh di pinggir-pinggir tuk, sumber, sendang, kali, telaga, juga tempat-tempat wingit atau sakral. Nahas, tak terhitung jumlah resan yang dibiarkan mati atau ditebangi oleh manusia. Padahal resan-resan itu telah hidup dan menghidupi jauh sebelum desa dihuni oleh manusia. Sangat umum nama sebuah resan menjadi sebuah nama dusun atau desa. Misalnya, desa atau wilayah bernama Bejiharjo, Bulu, Kedung Poh, Ngringin Sari, Gayam, Cangkringan, Pakem, atau Timoho di Yogyakarta. Jika ditelusuri lagi, terdapat resan dengan nama yang sama di suatu tempat atau satu waktu.
Menurut penuturan beberapa pegiat Resan Gunungkidul, resan berasal dari bahasa tutur sehari-hari, yaitu wreksa (pohon). Dalam dialek keseharian itu, kata wreksan dimudahkan oleh para penutur menjadi resan. Kata wreksa (pohon) dekat dengan kata reksa yang bermakna ‘jaga’. Maka, resan kemudian dimaknai sebagai ‘penjaga’ (pangreksa) bagi manusia dan lingkungan.

Secara fisik resan adalah penjaga sumber air. Ribuan tuk atau sumber air dan ratusan telaga yang tersebar di Gunungkidul menghidupi masyarakat selama berabad-abad. Beberapa telaga alami dan sumber air yang masih asri dan dimanfaatkan warga Gunungkidul adalah Telaga Winong, Sumber Ponjong, dan Sumber Gedaren. Setiap hari warga sekitar mendatangi telaga dan sumber untuk mandi, mencuci, memancing, maupun sekadar bersantai dan bercengkerama. Di sekitar telaga dan sumber air tersebut pohon-pohon resan, entah itu beringin, klumpit, jambu klampok, winong, atau lainnya tumbuh.
Secara batin resan adalah penjaga adab dan ngelmu leluhur. Dalam sistem ilmu pengetahuan kulawangsa Jawa resan juga diyakini sebagai petunggon: penanda atau penjaga wilayah. Ada sebuah legenda mengisahkan seorang pengembara berteduh di bawah resan dan kemudian membangun peradabannya sendiri sebagai leluhur ‘cikal bakal’ atau ‘bibit kawit’ di sana. Untuk menghormati sosok leluhur tersebut, masyarakat lantas melakukan ritual berdoa di bawah resan lengkap dengan ubarampe sesajian: ayam panggang, tumpeng, dan jajanan pasar.
Resan, ketika dilibatkan dalam kehidupan sehari-hari manusia, niscaya manusia hidup dalam kemakmuran. Resan-resan di Sendang Gedaren adalah saksinya. Masyarakat sekitar mendatangi sendang untuk mandi, mencuci baju, atau memancing. Di dekat sumber air persawahan asri terbentang sejauh mata memandang. Para petani sibuk bekerja sedari pagi. Di bawah kaki salah satu resan di Sendang Gedaren terdapat arca Hyang Sri atau Dewi Sri: Ibu Bumi pelindung kelahiran dan kehidupan.
Tak dapat dipungkiri bahwa mitos kesakralan yang menyelimuti resan-resan justru menjadikan mereka lestari dan tak terjamah selama ratusan tahun. Namun, ingatan tentang kesakralan resan dan penghormatan pada resan perlahan mulai memudar. Ritual suci yang dilakukan masyarakat setempat di sekitar resan tiap tahunnya terkesan seremonial belaka dan hanya menjadi penarik minat turis saja. Meskipun di beberapa resan terpasang sesajian ubarampe dan kain mori yang membelit sebagai perlambang penghormatan, tak banyak masyarakat yang benar-benar memikirkan nasib resan di masa depan. Resan tua dibiarkan mati oleh masyarakat tanpa menyiapkan penggantinya.
Banyak resan ditebang dan sumber air sengaja dirusak untuk kepentingan komersial seperti nasib tragis yang menimpa resan di Pasar Kawak (Dusun Seneng, Kalurahan Siraman Kapanewon Wonosari) dan Beji Pengkol (Kapanewon Nglipar). Manusia jahat membacok badan resan, meracuni akarnya dengan oli dan solar. Tak ayal warga marah dan melaporkan perusaknya hingga ke pihak berwajib.
Di Sendang Kemuning, air sendang tercemar limbah pengolahan pabrik tahu yang berjarak lima meter dari sumber air. Air sendang tak lagi mengalir, bau busuk menguar dari air yang menghitam. Kawasan Sendang Kemuning dibangun oleh Keraton Yogyakarta sekitar tahun 1951 sebagai lokasi ritus. Para perusak tak menghormati posisi Pasar Kawak dan Sendang Kemuning sebagai situs bersejarah. Dulu, di cungkup bangunan ada penandanya, sekarang sudah hilang. Kini bangunan rusak dan tak terawat, senasib dengan resan yang diabaikan.
Topografi Gunungkidul yang didominasi batuan kapur menciptakan problematika menahun. Pada musim kemarau, debit air Sungai Oya jauh menurun dan sebagian masyarakat kesulitan air. Pasokan air bersih dilakukan melalui dropping dari tangki air yang harganya relatif mahal. Saat tiba musim penghujan, mulai timbul bencana banjir bahkan tanah longsor. Eksplorasi pembangunan sumur bor yang mengesampingkan upaya pelestarian sumber air menambah pelik permasalahan hidrologis kawasan Gunungkidul.
Keberadaan sumur bor, PAMDus, atau PAMDes membuat warga mulai meninggalkan Penampung Air Hujan (PAH) dan telaga serta membiarkannya telantar. Maksud baik pemerintah membangun talud permanen justru mengakibatkan telaga mengering, seperti yang terjadi di Telaga Suci dan Telaga Klumpit. Semakin maraknya alih fungsi lahan vegetasi menjadi lahan huni, pertanian, dan perekonomian merusak fungsi daerah tangkapan air hujan.
Melihat ancaman-ancaman itu, sejak 2018 Komunitas Resan Gunungkidul bertekad untuk mengembalikan denyut nadi sumber air dengan fokus pada konservasi resan. Puluhan pemuda dalam komunitas berjejaring dengan masyarakat maupun individu yang memiliki kecintaan pada tanah leluhurnya. Kegiatan mereka disokong oleh kegelisahan kolektif dan kerelawanan. Tidak ada program pendanaan atau badan funding dibalik kegiatan mereka. Juga tidak ada legalitas atau kepengurusan terstruktur untuk ‘menjaga’ pergerakan mereka. Bukan tanpa maksud, mereka memang menghindari bentuk-bentuk otoritas membayangi langkah mereka.
Komunitas Resan Gunungkidul telah menanam lebih dari 10.000 pohon di beberapa sumber air, daerah tangkapan air hujan, dan aliran sungai. Para penjaga pohon ini memastikan beragam fungsi pohon bekerja sebagaimana mestinya. Tak hanya itu, mereka juga berusaha untuk melakukan pembibitan, ritual upacara, pembersihan, pengarsipan, pemetaan, dan inventarisasi sumber mata air, serta menyebarkan kearifan resan lewat unggahan foto dan cerita singkat di laman instagram mereka. Mereka berjuang tak hanya untuk resan yang lestari, namun juga menularkan kepedulian ke sesama manusia untuk giat menjaga pohon kehidupan.