“Kawu, daun bayam, pulang darah, puah akar, buah me’ah, banyak lagi—semua sudah lenyap.” Semula, Ino berceloteh dengan suara pelan. Tetapi makin ke ujung, suara perempuan tua itu makin tinggi dan serak. Sesuatu yang amat ia cintai lenyap tak bersisa: beragam jenis dedaunan, tumbuh-tumbuhan, akar-akaran. “Tidak satu pun lagi yang ada. Habis! Habis!” Intonasinya meninggi. Padahal, semua itu amat penting bagi Ino, juga bagi keberlangsungan hidup manusia umumnya, nun di pedalaman Desa Melibur Kecamatan Talang Muandau, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau yang kaya. Dengan tumbuh-tumbuhan itu, katanya, ia bisa membantu persalinan bayi, mengobati luka, menangkal demam dan batuk, menawar beragam bisa dan penyakit. “Semua itu tumbuh sendiri di hutan belakang rumah sejak saya kecil, selama beratus-ratus tahun”.
Beban usia telah membuat banyak garis kerutan di pipi Ino terlihat kian jelas. Lengannya berkerut, jari-jemarinya mulai ringkih. Dengan kedua tangannya, bayi-bayi ‘diantar’ ke dunia yang lapang. Dengan kedua tangan yang sama pula ia meramu berbagai obat untuk demam buat si bayi yang rentan. Sesekali, ia diundang menghadiri perhelatan merayakan kehadiran seorang anak; sebagai lakon yang akan membawa si bayi pada prosesi turun mandi. Ia diupah ala kadarnya, tak jarang dengan beras—karena profesi yang dilakoninya tidak terikat bayaran.
Bagi Ino, membantu persalinan adalah profesi yang tidak bisa ditolak karena ia adalah bagian dari spiritualitas adat Melayu yang rumit. Menolong persalinan, menating kehidupan seorang manusia ke tengah dunia, adalah panggilan ilahiah yang tidak bisa ditolaknya. Lewat pengetahuan persalinan tradisional yang diwarisinya, semua bayi yang lahir mesti melewati sebuah liang “kasih sayang”. Jari-jemarinya bagai jari-jemari yang terhormat mengemban amanat. Untuk membantu tujuan itulah, ia memetik segala jenis tumbuhan, meramunya dan memantrainya dengan doa-doa.

Potret Ino seorang mantan dukun beranak difoto di samping rumahnya di Desa Melibur
Hutan yang seragam, yang mengepung seluruh perkampungan ini sekarang, dipenuhi akasia dan eukaliptus yang hijau berjejer begitu lurus. Alangkah panjang, sejauh mata memandang.
Tetapi kini, pada 2024, apotek hidup yang dinamakan ‘rimba’ itu, bagi Ino dan masyarakat Melayu yang hidup di pinggiran Riau adalah cerita tentang sesuatu yang telah tiada dan tak pernah bisa kembali. Semuanya terdepak dari perbincangan-perbincangan kebudayaan Kota Pekanbaru yang kaya, “Bertuah dan Madani”. Seiring dengan lenyapnya semua tumbuhan obat itu, praktik dukun beranak pun mulai dilarang penguasa. “Saya dipanggil, disuruh menghentikan. Saya tidak boleh lagi membantu persalinan. Mereka bilang berbahaya, tapi belum satu pun bayi yang mati di tangan saya. Di mana bahayanya?” kali ini suara Ino datar lagi.
Saya mendatangi rumah dukun beranak itu yang berlantai dan berdinding papan di puncak musim panas yang garang. Udara penuh debu dan gerah merambat hingga ke lipatan-lipatan selangkangan. “Tidak ada persalinan yang tidak normal walau posisi bayi sungsang, kembar, besar. Semua selamat di tangan saya. Apakah karena saya tidak pakai infus, tidak operasi bedah [sehingga dilarang]? Kami tidak perlu yang seperti itu, semua tanaman obat bisa mengatasi. Tidak ada panggul yang sempit. Kami tidak memasukkan jari ke situ untuk memastikan ‘bukaan’. Itu tidak sopan…,” Suara Ino terpotong suara knalpot sepeda motor yang menderu kencang, memekakkan telinga, yang melintas di jalan rusak di depan rumahnya. Wajahnya berubah kesal. Kekesalan Ino tidak hanya pada suara motor itu agaknya, tapi juga pada rimba di sekelilingnya yang telah berkirap-lenyap.
Hutan Tanaman Indusitri, perkebunan akasia dan eukaliptus milik perusahaan
“Padahal dulu, di belakang rumah ini saja ada banyak tumbuhan obat,” kata Basir, suami Ino, mengulangi kalimat yang sama dengan istrinya seakan ingin menumpahkan kekesalan yang sama. “Benar, itu dulu. Sekarang beda, hutan berubah menjadi rapi, tumbuhannya sama rata, sama besar,” kata-kata Ino tersusun rapi menggambarkan keadaan dan topografi kampung mereka kini. Hutan yang tak rapi, tempat tumbuhnya segala jenis kayu dan tanaman obat, padi ladang, makam para leluhur dan datuk-datuk, tempat berumahnya harimau, gajah, beruang, dan segala fauna, berganti “hutan yang rapi”.
Hutan yang seragam, yang mengepung seluruh perkampungan ini sekarang, dipenuhi akasia dan eukaliptus yang hijau berjejer begitu lurus. Alangkah panjang, sejauh mata memandang. Hutan yang ‘memesona’ dengan keseragaman dan kerapiannya itu sayangnya tidak menyediakan daun obat apa pun lagi untuk Ino. Hutan Ino yang lama telah tinggal kenangan, sebagaimana kedudukannya sebagai dukun persalinan.
Tepatnya, Ino sekarang adalah seorang pensiunan—mantan dukun beranak. Sebab, sudah hampir sepuluh tahun sejak beredarnya larangan itu, ia tak lagi membantu persalinan. Pun secara tak langsung pula perempuan-perempuan hamil juga dilarang untuk bersalin dengan dukun kampung. “Siapa yang bersalin pada dukun, akta kelahiran akan susah didapat,” tambah Ino lagi. Artinya, status kelahiran di tangan siapa menentukan masa depan jabang bayi, akan bisa bersekolah atau tidak nantinya, akan bisa menerima bantuan gizi dan tambahan nutrisi dari pemerintah atau tidak, dan seterusnya. Dari orok hingga seseorang bisa jadi sarjana, semuanya membutuhkan akta kelahiran. Dan semua itu tidak akan didapatkan dari tangan ringkih Ino.
“Bedanya, dulu memang sungai jernih tempat mengambil ikan. Tapi kini, sungai mulai lari, kotor, berpindah ke tanah perusahaan untuk kebutuhan tanaman industri. Penyakit canggih datang cepat sekali, kita harus berobat ke Pekanbaru. Jauh sekali,”
Lahan gambut Tasik Betung Kecamatan Sungai Mandau yang kering. Banyak ikan terperangkap dan mati. Di daerah yang hampir saban tahun terbakar ini, selain dijadikan tempat memancing juga dikunjungi warga setempat untuk wisata dan berfoto-foto.
Mula-mula, traktor yang datang, jalan ke kampung Ino yang gelap dibangun, listrik negara meneranginya dengan cahaya bohlam, Ino bisa menonton televisi bersama suami dan anak-anaknya. Perempuan tua itu menyaksikan bagaimana kampung ini dengan cepat berubah ketika alat berat yang canggih didatangkan untuk menumbangkan hutan, parit-parit untuk tanaman akasia dibangun, jalan-jalan dibangun, sepeda motor kian banyak, mobil-mobil mengkilap milik dinas kesehatan lewat, bidan-bidan desa tersenyum di atasnya. Sarjana-sarjana kesehatan berseragam putih, lengkap dengan ijazah dan pengetahuan persalinan modern yang mereka dapatkan di perguruan tinggi, telah masuk ke kampung Ino begitu hutan tempat tumbuhnya segala tanaman obat hilang.
“Lebih bagus memang, kita sudah tidak menggunakan perahu lagi kalau mau berbelanja ke Siak. Ke mana hendak pergi bisa, tidak seperti sebelumnya hanya lewat sungai, waktunya lama,” Ino menatap kosong ke halaman, jalan pecah-pecah berlubang menghubungkan perkampungan satu dengan lainnya yang dikungkung oleh konsesi lahan, tanah yang diserahkan negara kepada perusahaan. Rimba, hutan, adalah sandaran hidup banyak orang, tetapi ia juga sumber persoalan. Pemodal-pemodal dari kota, lewat perusahaan raksasa mereka yang gendut, menanamkan modal untuk mengambil alih hutan lewat satu kata yang dinamai ‘konsesi’. Di hutan yang telah ditebangi itu, komoditas baru yang siap bersaing di pasar global ditanam, dunia bisnis menamainya sebagai Hutan Tanaman Industri.
“Bedanya, dulu memang sungai jernih tempat mengambil ikan. Tapi kini, sungai mulai lari, kotor, berpindah ke tanah perusahaan untuk kebutuhan tanaman industri. Penyakit canggih datang cepat sekali, kita harus berobat ke Pekanbaru. Jauh sekali,” kata Basir menambahkan. ”Kini banyak yang mengeluh karena biaya persalinan mahal, harus…,” suara azan maghrib berkumandang kencang membuat apa yang dikatakannya tak lagi terdengar jelas. Gelap kemudian mengepung perkampungan Melibur yang berisi hampir seribu nyawa manusia, sebagaimana akasia dan eukaliptus mengepungnya dari berbagai penjuru, seakan perkampungan ini, dan beberapa perkampungan lain di sekitarnya, menumpang di wilayah perkebunan itu sendiri.
Ladang, bagi orang-orang di pinggiran Tanah Melayu ini, adalah kekayaan yang harus terus dipertahankan. Sebab itu, mempertahankan ladang adalah juga sumber masalah yang terus berlarut-larut tanpa ada ujungnya.
Penggembala membawa ternak mencari padang rumput yang kian sulit ditemukan akibat pembabatan hutan dan luasnya lahan Hutan Tanaman Industi membuat ternak mereka kurus.
Saat gelap merundung, lampu-lampu dinyalakan. Bidan telah datang, dinas kesehatan melarang praktek persalinan bayi selain dari tenaga medis. Dukun beranak kemudian menjadi momok, dianggap bagian dari ilmu pengetahuan hitam yang tak higienis, yang barbar, menakutkan dan berbahaya. Jalan telah dibangun walau dalam bentuk yang kini compang-camping. Listrik milik negara masuk pada 2015, dan tenaga kesehatan datang membawa praktek yang dianggap lebih steril—bukankah itu kebaikan?
“Kebaikan bagaimana? PT. Arara Abadi selalu menyerobot lahan milik masyarakat. Sepanjang tahun! Gajah mati, harimau mati. Hutan habis, gajah mengacak-acak kebun saya, ” Ujang Darwis meningkahi pertanyaan saya ketika ia baru saja pulang dari kebunnya, mandi, mengenakan baju berlengan panjang, dan duduk di lantai rumahnya sembari mengurut-urut lututnya dengan kedua tangan. Ia mengaku kurang sehat. Matanya memerah seperti harimau demam. “Getah kayu beronggang, itu obatnya. Tinggal diurut, tak berapa lama akan sembuh. Sekarang, jangankan getah kayu, hutan pun tidak ada. Dulu masih banyak yang menentang perusahaan itu. Saya menentang. Beberapa tahun lalu, saya menjadi DPO, dicari-cari polisi. Terpaksa saya lari dari kampung ini. Sekarang, sudah tidak sanggup lagi melawan. Perusahaan merambah semua hutan, merampas banyak lahan kami,” Ujang Darwis menutup perbincangan dan malam yang pekat berkelebat datang. Kegelapan menutupi kampung, menutupi akasia yang berjejer, dan eukaliptus yang rapi.
Ladang, bagi orang-orang di pinggiran Tanah Melayu ini, adalah kekayaan yang harus terus dipertahankan. Sebab itu, mempertahankan ladang adalah juga sumber masalah yang terus berlarut-larut tanpa ada ujungnya. Ketika sore hari, mereka akan kembali pulang. Menonton televisi dan tidur. Sekali sepekan, mereka keluar kampung berbelanja kebutuhan pokok, melewati jalan rusak bantuan pemerintah, berjam-jam melalui jalan tanah penuh debu milik perusahaan, berpapasan dengan truk dan lori perusahaan yang sarat muatan kayu sebagaimana yang saya lewati menuju Kota Pekanbaru. Bila hujan, becek dan licin. Bila masih dalam musim kering begini, ketebalan debu menutupi seluruh tubuh, masuk ke sela-sela jaket, mata, telinga, hidung—kita menjadi persis seperti tikus yang keluar dari tumpukan tepung.
Pada malam yang lain, saat purnama berpendar di Langit Melayu, ketika anak-anak muda kampung berlatih silat di sebuah halaman rumah dengan cahaya temaram, Amizar duduk di dalam rumahnya yang berlantai semen. Saya menyalaminya, tangannya dingin, dan saya dipersilahkannya duduk. Beralaskan tikar, guru silat itu membuka perbincangan tanpa basa basi, suaranya menghentak-hentak ke jantung. “Hulu Sungai Malibur, hutan adat, Gunung Tanah Bolang … semua dihabisi PT. Murini, PT. Arara Abadi. Itulah konsesi. Saya ini dulu kepala desa. Semua kepala desa dikontrol, jika melawan akan dilaporkan ke polisi.” Saya menatap matanya. Ada kilatan letih dan perasaan terluka di situ. Ia menggeram, kekesalan tampak nyata membayang pada matanya.
“Sebelum tahun 1994, semua ini hutan, hutan adat Melayu. Sekarang, kita seperti menumpang pada tanah perusahaan. Kita tiap tahun bayar pajak, tapi kita tidak diberi sertifikat. Hanya surat desa. Seandainya perusahaan menutup jalan keluar, kita sudah terkepung di dalam kampung ini. Sejak tahun 2008, kami sering bentrok dengan perusahaan. Hingga 2022 kemarin [kami] masih melapor ke DPRD. Tidak ada hasilnya. Dulu [ketika] bentrok, teman saya dipukuli, luka-luka, patah-patah,” Amizar, entah kenapa, tertawa renyah mengakhiri perbincangan kami, sembari setengah berbasa basi, nanti datang lagi, sering-sering ke sini, dan seterusnya. Di seberang jalan, di bawah sinar purnama, murid-muridnya tampak kelelahan setelah memperagakan beberapa jurus.
***
Di Riau, Orang Sakai dicap sebagai orang bodoh, terbelakang, miskin, dan selalu menggunakan kekuatan magis dalam kehidupan mereka.
Pemandangan yang jamak ditemui ketika panen, truk silih berganti mengangkut kayu dari lahan-lahan perkenbunan yang menguarkan abu.
Lelaki Suku Sakai lewat paruh baya duduk bersama anak laki-lakinya yang berbadan tegap di sebuah rumah berdinding papan beratapkan seng pada suatu siang yang panas. Hawa kering dan udara berdebu menyebar di seantero Desa Mandiangin, Kecamatan Minas, Kabupaten Siak, Riau.
Orang Sakai kini bukan lagi seperti yang digambarkan Parsudi Suparlan dalam bukunya Orang Sakai di Riau: Masyarakat Terasing dalam Masyarakat Indonesia. Yang terasing jauh di pinggiran, terhubung secara batin dengan para puak, bergantung hidup pada sungai-sungai, rawa, dan berburu. Di Riau, mereka dicap sebagai orang bodoh, terbelakang, miskin, dan selalu menggunakan kekuatan magis dalam kehidupan mereka. Secara fisik dapat dengan mudah ditandai, hanya mengenakan celana dalam atau cawat saja bagi laki-laki dan mengenakan rok yang kelihatan kumal bagi perempuan, atau bertelanjang dada bagi perempuan yang sudah berumur, yang semuanya ini dikenakan di tempat-tempat umum, atau mereka mengenakan pakaian yang tidak serasi dan berwarna-warni yang tampak mencolok mata.
Sisa galian minyak di Siak.
Mula-mula, Perusahaan Caltex masuk ke tanah nenek moyang mereka pada tahun 1970-an untuk menyedot minyak. Seiring masuknya perusahaan minyak, gelombang modernitas datang, dan para pendakwah juga turut serta bersamanya di atas gelombang itu. “Tahun 1975 Islam baru berkembang di pedalaman Riau ini,” kata lelaki itu. Sejak itu, ia memeluk Islam dan bernama Abdullah.
Abdullah menjadi salah seorang dari sedikit orang Sakai, ketika itu, yang bisa sekolah dan bekerja sebagai guru dengan seabrek cita-cita untuk mencerdaskan kaumnya. “Orang Sakai dianggap primitif. Hidup di hutan-hutan, bersandar pada alam dan nasib baik,” katanya. Dia ingin mengangkat derajat mereka dan mengubah nasib kaumnya. Sementara, nasib mereka rupanya lebih banyak ditentukan oleh Perusahaan (‘p’ kapital). Caltex, lalu Chevron, lalu Pertamina, silih-berganti datang mengeruk minyak di sana hingga hari ini. “Tiga orang anak saya disekolahkan, diberi beasiswa oleh Caltex.”
Kata Abdullah lagi, perusahan-perusahaan itu masih menyisakan hutan lindung, masih ada obat-obatan dari alam. Namun, tidak begitu ketika PT. Arara Abadi datang. “Awalnya mereka membangun masjid untuk masyarakat. Setelah itu, tanah kami mereka habisi. Kami ditodong senjata, kami tidak bisa melawan. Kami ditangkap, saya juga ditangkap dan dipenjarakan. Akhirnya banyak tanah terjual untuk banding, membayar pengacara biar bisa lepas dari penjara. Ratusan juta. Tanah habis, transmigran datang membangun rumah-rumah gedung. Itu Minas Asal habis ditebang, kubur moyang kami diratakan, diganti akasia. Kami sekarang berziarah ke akasia,” Abdullah bercerita panjang, terik kian menggelegak. Anak bujangnya yang berbadan tegap membawa minuman dingin. Dia duduk di samping ayahnya.
Wisata menutupi segala keruhnya sungai, segala persoalan kebakaran hutan yang saban tahun terjadi, harimau dan gajah yang terus meregang nyawa, dan lahan yang menuai konflik tak berkesudahan.
“Ini kuberi nama Adriyanto, biar rajin mencangkul,” kata Abdullah menunjuk kepada anak bungsunya itu. Bukannya rajin mencangkul dan mengolah lahan, Adriyanto malah bekerja sebagai satuan pengamanan di tanah perusahaan yang berdiri di atas hutan dan pemakaman moyangnya. “Jadi sekuriti di PT. Arara Abadi hanya sebulan. Pas jadi sekuriti, diadu dengan masyarakat sendiri, ‘Gas…! Gas…! Masa kalian tak mau mengontrol masyarakat kalian sendiri,” kata Adriyanto menirukan perkataan atasannya di perusahaan.
“Sudah banyak yang membantu Mandiangin ini. Banyak NGO juga yang membantu. Tapi banyak juga yang dibayar, lalu diam,” Abdullah berbicara pelan, lalu diam.
Tak jauh dari kebun Abdullah, seorang gadis yang memiliki cita-cita yang sama dengan Abdullah tua baru pulang dari sekolah tempatnya mengajar. “Cita-cita saya, ya mengajar inilah,” katanya. Dengan mengajar, dengan pintar dan jadi sarjana, ia mengulang kata-kata bapaknya, “tanah harus dipertahankan.” Yani Sara, gadis itu, terbatuk kecil. Ia terus mengulang apa yang ia yakini, yang juga diyakini ayahnya, “ … dengan sekolah, dengan belajar dan menjadi pintar.”
Potret Abdullah, orang Suku Sakai yang pernah dipenjara karena konflik dengan perusahaan.
Gelap turun lagi di Siak. Debu kuning dan kelabu mengepul di jalan menutupi jarak pandang. Di balik jalan penuh debu itu, di antara lurusnya petak-petak perkebunan yang mengungkung perkampungan, di bekas-bekas pembakaran hutan, terlihat sekelompok orang memancing, mencari ikan di antara kepungan hutan yang seragam. “Ini tempat wisata, tempat mancing mania,” kata Anggi, pemuda Melayu yang membawa saya berkendara melintasi jalan rusak penuh abu. Di bekas-bekas pembakaran hutan, di antara pekatnya abu, Tasik Betung menawarkan wisata mancing mania. Di bekas lahan gambut yang merana dihantam kekeringan, ikan-ikan terperangkap dan wisata bercokol di atasnya.
Wisata menutupi segala keruhnya sungai, segala persoalan kebakaran hutan yang saban tahun terjadi, harimau dan gajah yang terus meregang nyawa, dan lahan yang menuai konflik tak berkesudahan. Pariwisata menutup segala persoalan sebagaimana hutan-hutan yang rapi menutupi perkampungan-perkampungan.