Kabut tebal menyelimuti perkebunan kopi di kiri dan kanan jalan saat berkendara ke wilayah Pantan Sile, Aceh Tengah, pada Januari 2023. Tidak ada aktivitas mencolok di kawasan setinggi 1.700 mdpl ini. Saya melihat Sutarni (58) turun ke kebun kopi seluas setengah hektare tak jauh dari rumahnya. Tidak banyak biji kopi merah (cherry) bisa dia panen.
Sutarni sedang mempersiapkan panen kebunnya. Ia baru saja membersihkan ranting-ranting kering tanaman kopinya. Di sebelah ranting-ranting kering itu, buah kopi kosong tampak hitam masih menggantung. Hama pengebor biji kopi (Hypothenemus hampei) telah menggerogoti sebagian kebun Sutarni. Buah kopi di sekeliling pohon kering itu tidak layak panen. Dengan pengetahuan seadanya, Sutarni tetap merawat kebunnya. “Saya tidak punya penghasilan lain selain dari kebun ini,” ujarnya. Naik turun kebun dengan posisi lereng membuat Sutarni yang sudah tidak muda lagi merasa kelelahan. Ia kemudian pulang dan beristirahat di rumahnya.
Tanah Gayo adalah salah satu daerah penghasil kopi arabika terbaik di Indonesia. Kopi dari dataran tinggi Aceh, yaitu di Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Gayo Lues, ini dikenal akan cita rasanya yang nikmat. Kopi tersebut telah diekspor ke berbagai negara, seperti Amerika Serikat, Korea Selatan, Jepang, dan negara lain. Di Pantan Sile, mayoritas warganya adalah petani kopi. Dan hasil kopinya dikenal sebagai kopi arabika terbaik dari Takengon, Aceh Tengah. Namun, kini para petani sedang menghadapi musim paceklik akibat perubahan iklim.
Tanaman kopi sangat bergantung pada kondisi iklim. Kopi arabika lebih sensitif terhadap variasi iklim, khususnya selama tahap mekar dan berbuah. Apalagi, pembungaan kopi dipicu hujan pertama di awal musim hujan. Jika hujan turun atau terlalu deras, bunga dan buah dapat jatuh dari pohon kopi.
Perubahan iklim telah mengubah fisiologi tanaman kopi sehingga sebagian petani terpaksa menanamnya di wilayah lebih tinggi lagi. Ini juga akan berdampak pada kualitas kopi di mana kopi akan semakin sulit berkembang di wilayah yang curah hujannya terlalu tinggi. Perubahan ini kerap membuat petani kopi resah.
Murniati (80), petani kopi di Desa Wih Tenang Uken, Bener Meriah, bahkan tidak tahu apa penyebab tanaman kopinya banyak yang rusak akhir-akhir ini. “Saya harus membersihkan tanaman-tanaman rusak ini,” katanya. Dia memotong beberapa dahan tanaman kopi yang sudah mengering. Beberapa buah kopi di kebun Murniati juga busuk akibat diserang hama.
Hama penggerek buah kopi yang sering disebut bean borer (pengebor biji kopi) tadinya tidak bisa hidup di ketinggian 800 mdpl. Namun, karena cuaca yang menghangat, hama itu sudah bisa hidup di ketinggian 1.200 mdpl, tempat umumnya ladang kopi. Asumsinya, peningkatan suhu itu mempengaruhi hasil kopi. “Di daerah yang lebih hangat ditumbuhi hama. Ulatnya masuk pada saat berbunga. Jadi hal itu yang mengurangi kualitas kopi,” ungkap Sri Wahyuni, salah seorang pegiat lingkungan di Bener Meriah.
Selain itu, salah satu penyebab terjadinya perubahan iklim yakni berkurangnya tutupan hutan juga telah mempengaruhi proses pertumbuhan tanaman kopi itu sendiri “Curah hujan tinggi, tetapi daya serap air tanah semakin berkurang akibat pohon-pohon banyak ditebang. Pohon kopi sangat membutuhkan air. Hal itu juga yang membuat tanaman kopi menjadi kering,” jelasnya
Terus Menurun
Dari data International Coffee Organization, Indonesia adalah produsen kopi terbesar keempat setelah Brazil. Pada musim panen 2014 dan 2015, Indonesia berkontribusi terhadap total produksi kopi dunia sebanyak 7,3 persen. Sedangkan pada musim panen 2018 dan 2019 produksi kopi Indonesia menurun hingga 5,5 persen. Menurunnya produksi kopi Indonesia tersebut tentu saja karena masalah gagal panen. “Kami gagal panen di musim ini,” keluh Murniati. Dulu produksi kopi miliknya bisa sampai 200 kaleng sekali panen. Namun, kini hanya berkisar 70 kaleng.
Tetangganya, Win Irbi, juga mengeluhkan hal sama. “Sekarang kami sering mengalami kerugian akibat cuaca,” ujarnya. Perubahan cuaca yang tidak dapat diprediksi membuat petani merasa khawatir akan kejadian gagal panen. Win Irbi mengatakan lebah-lebah yang membantu penyerbukan tidak lagi hinggap karena curah hujan yang sangat tinggi di musim penyerbukan tiba. Sebaliknya, ketika petani membutuhkan hujan, musim justru berganti menjadi kemarau. “Kami harus menarik air dari gunung dengan selang,” lanjutnya. Perubahan musim yang tak terduga selalu menjadi masalah bagi petani kopi di Tanah Gayo.
Di sisi lain, saat panen yang seharusnya cuaca panas, ternyata hujan turun terus menerus sehingga biji kopi tidak bisa dijemur dengan baik. Jika kondisi seperti ini, petani biasanya memfermentasi biji kopi ke dalam air sampai matahari muncul. Biasanya sekitar dua atau tiga hari.
Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan salah satu fenomena anomali iklim yang mempengaruhi produksi kopi adalah El Nino Southern Oscillation (ENSO). Pengaruh ENSO lebih kuat di daerah tropis yang juga merupakan kawasan penghasil kopi dunia. Fase hangat ENSO, yang dikenal sebagai EL Nino, menyebabkan musim kemarau lebih panjang dua sampai empat bulan dari kondisi normal.
Tanaman kopi hanya memerlukan bulan kering dua sampai tiga bulan. Namun, bulan kering yang lebih panjang akibat El Nino telah menyebabkan menurunnya produksi kopi. Kekeringan lebih dari tiga bulan berturut-turut menyebabkan daun dan ranting mengering dan banyak biji kosong. Selain bulan kering, bulan basah yang terjadi sepanjang tahun juga menurunkan proses persarian bunga kopi hingga 95 persen. Ini menyebabkan populasi tanaman yang produktif menjadi lebih rendah.
Menurut data Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun), Kementerian Pertanian menargetkan produksi kopi pada 2019 sebesar 0,79 juta ton. Namun, pada periode 1970−2015 produksi kopi tidak mengalami kenaikan cukup signifikan, hanya satu sampai dua persen per tahun.
Masalah produktivitas juga mempengaruhi luas cakupan hutan Gayo. Petani cenderung membuka lahan baru untuk membuat kebun baru. Kebun lama yang sudah meranggas itu ditinggalkan. Perubahan iklim pada sisi lain juga akan mempengaruhi luasan lahan untuk tanaman kopi di masa depan. Center for International Forestry Research (CIFOR), salah satu lembaga riset lingkungan hidup, menemukan bahwa pada 2050 jumlah lahan untuk tanaman kopi arabika akan berkurang hingga 80 persen.
“Bisa disimpulkan kalau pengaruh iklim ini sangat mengancam masa depan kopi. Karena hal ini berdampak pada penurunan kualitas dan pada lahan-lahan yang bisa ditanami kopi arabika ini semakin mengecil,” kata Sri Wahyuni.
Sri Wahyuni, yang juga salah seorang petani kopi, ikut menyuarakan dampak krisis iklim terhadap lingkungan. “Saya punya lahan kebun. Dulu saya juga beraktivitas di lembaga yang sering mengampanyekan persoalan lingkungan hidup. Kemudian saya bertani. Saya lebih banyak di kebun sekarang, menyaksikan sendiri kondisi hutan di sekitar kebun sekarang. Bagaimana kebun saya kesulitan air dan lain-lain. Itu semua karena pengelolaan lingkungan yang tidak baik,” jelasnya.
Ia mengakui ada banyak faktor yang menyebabkan berkurangnya tutupan hutan di Aceh Tengah. Di antaranya pembalakan liar, perluasan kebun kentang, dan kebun kopi. “Tapi, yang kita lihat saat ini lebih banyak di kebun kopi memang,” katanya. Kepedulian Sri Wahyuni terhadap masa depan lingkungannya juga ia lakukan dengan memberikan laporan kepada pihak yang berwajib untuk menindaklanjuti tindakan-tindakan yang merusak lingkungan. Namun, laporannya kerap tidak ditindaklanjuti.
“Saya dan orang-orang yang memang berkehidupan dan tinggal sangat dekat dengan kebun tidak merasakan dampak yang lebih baik dari upaya penegakan hukum yang dilakukan pemerintah. Padahal kondisi kerusakan lingkungan sudah separah ini mempengaruhi kami,” tutur Sri Wahyuni.
Penopang Kehidupan
Kopi adalah penopang utama bagi kehidupan masyarakat Gayo. Ia seperti napas dalam tubuh setiap orang yang tinggal di sana. Maryani (67) sejak 43 tahun lalu memutuskan untuk tinggal dan membeli 2 hektare kebun di Takengon. Hasil kebun kopi Mariyani setidaknya sudah menghidupi ia dan keempat anaknya. “Dari kebun inilah saya berhasil menyekolahkan keempat anak saya sampai selesai. Dua di antara mereka ada yang sudah jadi PNS (pegawai negeri sipil),” kisahnya.
Hari itu Mariyani tengah beristirahat di pinggir kebun. Semilir angin menemani perbincangan kami. Tak ada segenggam kopi pun di dalam gembol (kantong yang terbuat dari karung beras) yang diikatkan di pinggangnya. “Kemarin cuma panen lima kaleng. Kalau lagi musim kopi biasanya bisa sampai 80 kaleng,” kata Mariyani. Ia belakangan ini memang sering mengalami gagal panen. Proses pembuahan kopi tidak berjalan dengan baik. “Bunga kopi banyak yang jatuh karena angin, makanya hasil kopinya sangat sedikit,” ujarnya.
Bagaimanapun juga, Mariyani dan keluarganya harus tetap bertahan hidup. Merosotnya hasil kopi membuat Mariyani menanam tanaman kol di sebelah pohon kopi. “Rasanya, dari kopi saja sudah tidak cukup untuk kebutuhan kami sekarang,” pungkasnya.
Ancaman terhadap masa depan kopi arabika ini juga sangat mempengaruhi masyarakat Gayo. Suasana itu bisa tergambar dari warung kopi di daerah ini. Saat itu, hawa dingin disertai kabut tipis menyelimuti area pasar bawah Takengon, Aceh Tengah. Di sebuah warung kopi, Rifin, pendatang yang sudah menetap di Tanah Gayo selama puluhan tahun, sedang menyeduh kopi untuk pelanggan. “Sepi, dik. Kayaknya hasil kopi lagi kurang,” keluhnya ketika saya bertanya tentang keseharian warungnya.
Hasil perkebunan kopi sangat mempengaruhi aktivitas ekonomi masyarakat Gayo. Hampir 80 persen penduduk Gayo mayoritasnya adalah petani. “Di sini pendapatan utama masyarakatnya, ya, dari kebun. Kalau hasil kebun menurun, aktivitas ekonomi lain juga terdampak,” ujar Rifin.
Hanya Seperempat yang Tinggal
Merosotnya hasil panen kopi tidak hanya dirasakan Mariyani. Hal itu juga dirasakan beberapa anggota dari Koperasi Kopi Wanita Gayo (Kokowagayo). Dewi Wahyuni, salah satu pengelola koperasi, mengaku anggotanya telah banyak kehilangan hasil panen mereka. “Kalau kata ibu-ibu petani, yang tinggal hanya seperempatnya. Jadi, ada sekitar 75 persen hasil kebun yang hilang akibat perubahan iklim,” kata Dewi saat saya temui di kantornya.
Perubahan iklim diakui Dewi sangat dirasa pengaruhnya selama dua-tiga tahun belakangan. Pihaknya kemudian bekerja sama dengan sebuah organisasi yang mengusung fair trade untuk mengajukan asuransi bagi para petani yang mengalami kerugian akibat perubahan iklim. “Mereka akan menutupi kerugian petani akibat perubahan iklim ini. Kita sudah mengajukan program untuk itu,” katanya.
Ada dua desa saat ini yang menjadi contoh penelitian untuk melihat grafik dari dampak perubahan iklim. “Salah satunya Desa Wonosari. Sekitar dua bulan lagi hasilnya akan keluar. Setelah itu barulah kita bisa melihat grafik dari produktivitas kopi petani di dua desa yang sudah kita asuransikan ini,” terangnya.
Kokowagayo merupakan salah satu koperasi yang sudah terverifikasi fair trade. “Artinya, kopi yang kita ambil dari petani kita harus organik,” tegas Dewi. Kopi fair trade adalah kopi yang diproduksi oleh petani kecil di mana produk dari perkebunan ini kemudian dijadikan sebagai pasokan tetap bagi instansi seperti produsen minuman kopi atau jaringan kedai kopi dan kosmetik yang menggunakan bahan dasar kopi. Pemasok kopi ini kemudian setuju membayar harga yang layak, dengan kata lain lebih mahal, sebagai ganti kopi berkualitas yang dihasilkan petani tersebut.
“Kita dapat premium fee. Misalnya, kita jual kopi seharga 50 ribu rupiah, maka premium fee-nya sekitar 5 ribu rupiah per kilo. Hasil dari premium fee itulah yang kemudian kita kembalikan lagi ke petani dalam bentuk pelatihan, sembako, pemberian bibit pohon, bibit kopi dan apa saja yang berhubungan dengan lingkungan dan kesejahteraan petani,” jelasnya. Beberapa waktu lalu Kokowagayo telah memberikan bibit alpukat ke para petaninya untuk menambah pendapatan dari perkebunan mereka.
Untuk menjaga kestabilan lingkungan, Dewi berharap masyarakat juga bisa lebih sadar untuk tetap menjaga lingkungan dan kembali melakukan penghijauan hutan.