Tanah adalah identitas orang Batak. Bagi keturunan suku Batak, marga di belakang nama mereka memiliki keterikatan dengan tanah tempat asal mereka. Garis keturunan marga ini dicatat dalam Tarombo, silsilah genealogi berbentuk pohon generasi. Berkembangnya masyarakat Batak yang merantau dan berpindah-pindah membuat mereka tersebar dan membuka huta, perkampungan.
Huta Natinggir di Habinsaran merupakan salah satu huta tertua. Wilayah ini sekarang masuk dalam Desa Administrasi Simare, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba. Para keturunan Opung Raja Nasomalomarhohos Pasaribu telah hidup di tanah ini sejak 325 tahun yang lalu. Seperti masyarakat adat Batak lainnya, keturunan Pasaribu yang ada di Natinggir mewariskan kisah tanah mereka lewat cerita lisan atau dikenal dengan marturi-turian.
Masyarakat Natinggir sejak dahulu bergantung pada hasil panen kemenyan. Kemenyan Toba (Styrax Sumatrana) tumbuh endemik di dataran tinggi Toba. Konon, lewat marturi-turian, kemenyan dikisahkan sebagai sosok jelmaan seorang gadis yang mengorbankan diri untuk keluarganya. Getah putih yang dihasilkan dari pohon kemenyan adalah tangis dari perempuan yang memilih untuk menjadi sebuah pohon demi menyelamatkan keluarga dan masyarakat desanya dari jerat kemiskinan. Sebab itu, pohon kemenyan dianggap sakral. Dan bagi orang-orang Batak yang tinggal di sekitar hutan kemenyan akan merasa tersakiti jika pohon tersebut ditebang.
”Semua yang ada di tanah Natinggir adalah berkat dari Tuhan, bukan dari manusia,” Tomu Pasaribu.
Menurut catatan, kemenyan Natinggir ini telah menjadi primadona dan diperdagangkan bersama kapur barus ke belahan dunia lain melalui pelabuhan Barus di pantai barat Sumatera sejak ribuan tahun yang lalu. Selain pohon kemenyan, terdapat juga berbagai jenis pohon dengan sebutan lokal di Huta Natinggir, seperti Api-api, antahasi, sampinur tali, Sampinur Bunga, Siala Gundi, Pokki, Gorat, Bintatar, Pining-pining, Rugun-rugun, Silom, Hau halak, Hapas-hapas, Tinggiran, Meang, Turu-turu, Hoting, Sampinur, Bagot. Juga ada tumbuhan rotan yang digunakan sebagai bakul untuk tempat kemenyan, tampi, dan keranjang untuk tempat ubi. Sayangnya, pohon-pohon ini kini sulit untuk ditemukan karena ekspansi industri.
Masuknya Perusahaan
Kehadiran perusahaan bubur kertas Toba Pulp Lestari bermula karena program penghijauan yang dilakukan oleh pemerintah pada 1972. Luas lahan penghijauan tersebut kurang lebih 15 hektare. Program penghijauan di tanah adat Natinggir ini dilakukan usai pemerintah meminta dan memberikan pago-pago kepada salah satu tetua huta. Bagi masyarakat Batak, pago-pago merupakan bentuk sah kesepakatan, bisa berupa makanan atau uang. Tidak ada transaksi jual beli di sini.
Namun, seiring berjalannya waktu, pago-pago dijadikan perusahaan sebagai biaya ganti rugi tanah. Inilah yang kemudian menjadi cikal bakal PT Inti Indorayon Utama, nama perusahaan sebelum berganti menjadi PT Toba Pulp Lestari, mengeklaim bahwa wilayah Huta Natinggir dan sekitarnya merupakan areal konsesi sah milik mereka setelah program penghijauan selesai. Klaim ini didasarkan pada Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan No. 493/Kpts-II/1992 tentang Pemberian Hak Pengusahaan HTI kepada PT Inti Indorayon Utama.
Masyarakat Adat Keturunan Op Raja Pasaribu Nasomalomarhohos Natinggir yang bergantung pada tanah dan hutan mulai mengalami dampak kehadiran perusahaan. Mereka yang umumnya beternak kerbau dengan sistem tanpa kandang, harus berhadapan dengan kawasan konsesi. Wilayah parjampalan, tempat masyarakat menggembala ternak tanpa kandang, telah berubah menjadi tumbuhan monokultur. Akibatnya, masyarakat kesulitan memberi ternak mereka makan.
Selain itu, pohon kemenyan yang tumbuh di tengah hutan juga mengalami penurunan jumlah akibat deforestasi dan perluasan konsesi. Bayon, tumbuhan rotan, yang biasa dimanfaatkan oleh masyarakat Natinggir juga tidak lagi mudah ditemukan. Masyarakat pun kemudian beralih dari berladang kemenyan menjadi petani palawija. “Dulu, kami semua memanen dan hidup dari pohon kemenyan, tapi sekarang tidak ada lagi,” kata Tomu Pasaribu, pemimpin masyarakat adat Natinggir, sembari memperlihatkan sisa kemenyan warisan ayahnya.
Di tengah wilayah adat Natinggir, terdapat beberapa sumber air. Sungai Aek Natinggir, Aek Bontar, Aek Bulu dan Aek Naoto yang peruntukannya untuk sumber air minum bagi masyarakat desa dan juga mengalir ke Toba menjadi sering berlumpur dan berwarna kuning akibat dampak pemakaian pupuk dan pestisida kimia untuk tanaman eukaliptus yang dilakukan oleh perusahaan.
Sejak 2018, masyarakat Huta Natinggir mulai melakukan perlawanan. Namun, mereka mengaku belum cukup terorganisir dan memahami cara untuk merebut kembali tanah mereka. Setahun kemudian, orang-orang Natinggir bertemu dengan Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), sebuah lembaga nonpemerintahan yang melakukan kerja-kerja studi, riset, pengorganisasian, pendidikan dan advokasi bagi masyarakat marginal di Sumatera Utara. Lewat pendampingan dari KSPPM ini, masyarakat adat Huta Natinggir mulai mendokumentasikan komunitas mereka, dari hukum-hukum adat, sejarah, hingga melakukan pemetaan untuk melihat besaran luas wilayah adat Natinggir.
Masyarakat Huta Natinggir melakukan proses klaim kembali tanah mereka pada 2019. Dari total 1.495 Ha tanah milik masyarakat adat Natinggir, sekitar 56,23 Ha berhasil diklaim kembali pada awal 2022. Kemudian, jumlah itu bertambah 17 Ha pada Maret 2022. Pada Hari Pangan 2022, bersama Serikat Tani Toba, masyarakat Natinggir melakukan penanaman bibit kemenyan di sebagian wilayah tersebut. Tapi, masalah kembali datang. Sekitar 6 Ha dari lokasi penanaman bibit kemenyan itu kini telah kembali beralih menjadi lahan pohon eukaliptus milik perusahaan.
Merawat Perjuangan
“Di sini dulu saya dan bapak beristirahat sehabis panen kemenyan. Ini dulu jalan setapak ke hutan kemenyan, tapi inilah sekarang,” ujar Tomu Pasaribu. Kefasihannya tentang sejarah tanah dan ingatannya soal tanah Natinggir masih terjaga. Di usia tuanya ia masih mempunyai pohon kemenyan yang diwariskan oleh ayahnya. Sejak dulu, Tomu telah menjadi saksi perebutan tanah dan konflik desa adat Natinggir dengan perusahaan.
Sejak perusahaan hadir di wilayah adat Natinggir, Tomu dan keluarganya sulit untuk bergantung pada hasil hutan. Kepada anak laki-lakinya, Sahala Pasaribu, ia menitipkan pesan untuk selalu berjuang demi tanah mereka. ”Kiranya diberkatilah hari depan cucu-cucuku, supaya terus ada generasi selanjutnya di tanah Natinggir,” kata Tomu. Pada Mei 2024, Tomu Pasaribu berpulang di usianya 59 tahun.
Sahala Pasaribu (34) telah menjadi pemimpin komunitas perjuangan Desa Adat Natinggir sejak 2019. Desa ini sekarang dihuni oleh kurang lebih 50 kepala keluarga. Gagasan-gagasannya menjadi kekuatan bagi generasi muda Natinggir untuk terus berjuang.
”Manusia dan alam itu saling bergantungan. Alam memberi kita oksigen dan udara segar, maka sudah jadi kewajiban kita juga untuk menjaganya,” Sahala Pasaribu.
Sahala dan istrinya tinggal di rumah yang mereka bangun di atas tanah yang telah berhasil mereka direbut kembali. Seperti rumah lainnya, rumah mereka pun didirikan secara gotong royong bersama warga desanya. Sehari-hari, Sahala bekerja di ladang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Ia juga kerap mewakili komunitas adat Natinggir dalam berbagai kegiatan pelatihan dan forum-forum diskusi yang membincangkan keberlangsungan masyarakat adat.
Bersama Sahala, juga ada Rumenti Pasaribu yang mewakili kaum perempuan dalam memperjuangkan hak masyarakat Natinggir. Ia bersama para perempuan lainnya acap membahas perihal cara memberdayakan perempuan untuk menjaga tanah warisan mereka. ”Kalau laki-laki bekerja di ladang dan pulang, kami perempuan pulang memikirkan kebutuhan rumah. Kami yang paling dekat dengan rumah, dengan generasi penerus tanah ini,” kata Rumenti.
Sahala dan Rumenti adalah jembatan bagi perjuangan masyarakat adat Natinggir. Apa yang mereka lakukan bukan untuk mendapat untung, melainkan untuk menjaga amanah leluhur mereka. Hingga sekarang, mereka masih terus merawat perjuangan mereka, merawat perlawanan masyarakat Natinggir untuk hak tanah mereka.