Pasukan merah “Tariu Borneo Bangkulerajank” melakukan ritual adat di kawasan keramat masyarakat adat Kinipan. Pasukan Merah Dayak mengaku akan ambil peran penting untuk mempertahankan adat istiadat suku Dayak serta hak-hak masyarakat adat Dayak tersebut. Suku Dayak sangat menjunjung tinggi adat istiadat yang terus diwariskan dari generasi ke generasi. Dalam ritual ini, organisasi tersebut juga memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan leluhur suku Dayak yang tidak dapat dilihat secara langsung.
Acara ini diselenggarakan untuk mempersatukan masyarakat Dayak yang ada di Kalimantan, agar tidak terpecah belah oleh kepentingan politik korporasi dan sebagainya. Dan acara kali ini dilakukan setelah konflik antara masyarakat adat Laman Kinipan dan sebuah perusahaan perkebunan PT Sawit Mandiri Lestari (PT SML) di Lamandau. Konflik itu berujung pada ditangkapnya lima orang pemuda dari Desa Kinipan, termasuk satu Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan Effendi Buhing yang videonya sempat viral di media sosial pada agustus 2020 lalu.
Hal ini disebabkan karena adanya tuduhan mencuri gergaji mesin milik Perusahaan PT SML dan warga Kinipan dituduh mengancam pihak perusahaan saat bekerja di lapangan. Dengan alasan dianggap menghambat investasi tersebut, akhirnya terjadilah kriminalisasi pada enam warga Kinipan dan menjadi tersangka.
Dalam konflik lahan tersebut, masyarakat adat Laman Kinipan kecewa dengan tindakan perusahaan yang telah membuka hutan dengan luas lebih kurang 2.900 hektar untuk perkebunan sawit. Sementara wilayah ini diyakini sebagai hutan wilayah kelola adat Laman Kinipan.
Hingga saat ini hal ini menjadi keresahan, belum ada titik terang atau belum adanya solusi dari konflik ini. Masyarakat adat kinipan punya ketakutan jika adanya aktivitas kembali yang dilakukan perusahaan tersebut yang menyebabkan deforestasi terhadap hutan adat mereka. Juga perampasan ruang hidup masyarakat adat merupakan pola awal dari rusaknya kontrol investasi.
Kalau peninggalan leluhur ini hilang, kami orang Dayak akan kehilangan identitas. Apapun yang terjadi pada hutan adat kami, harus kami jaga, karena ini harga mati.
Warga Kinipan tetap dalam posisinya yakni menolak hutan adatnya menjadi lahan sawit. “Jika hutan kami menjadi lahan sawit, maka kami tidak punya apa-apa lagi. Karena hutan segalanya bagi kami. Bagi orang dayak hutan itu adalah supermarket alam,disitu kami berladang, bercocok tanam, tempat kami berburu, mencari rotan untuk anyaman, obat-obatan dan juga hutan penyedia air bersih juga udara segar. Jadi kalau peninggalan leluhur ini hilang maka kami orang dayak akan kehilangan identitas. Maka apapun yang terjadi pada hutan adat kami harus kami jaga, karena ini harga mati. Jadi dalam hidup jangan dihabiskan, jangan rakus. Karena semuanya tidak akan kamu bawa mati, jadi sisakanlah untuk generasi mendatang, ujar Effendi Buhing.
Berdasarkan hasil kajian FWI (Forest Watch Indonesia), pada periode 2013-2017 angka deforestasi hutan alam di indonesia sebesar 5,7 juta hektar dengan 2,8 juta hektar berada dalam konsesi dan 2,9 juta hektare lainnya berada di luar konsesi. Angka deforestasi tersebut seharusnya menjadi trigger untuk mendalami lebih lanjut apa penyebab deforestasi yang terjadi di Indonesia. Apakah akibat aktivitas illegal logging, kinerja konsesi yang belum sejalan dengan upaya pencegahan deforestasi atau memang justru bagian dari deforestasi yang direncanakan.
Selama 75 Tahun Merdeka, Indonesia telah tujuh kali berganti rezim pemerintahan dan kita telah kehilangan hutan alam lebih dari 23 juta hektare atau setara dengan 75 kali luas Provinsi Yogyakarta. Setidaknya kehilangan hutan seluas itu adalah angka yang tercatat di FWI sejak tahun 2000-2017. Sejak saat itu, kita belum juga mampu menghadirkan tata kelola hutan yang baik. Kondisi hutan alam yang terus berkurang dan terdegradasi merupakan akumulasi dari lemahnya tata kelola hutan yang terjadi dari tahun ke tahun.
Saat ini perubahan iklim dan karena deforestasi menjadi ancaman serius bagi komunitas adat Dayak di Kalimantan, juga daerah hutan hujan tropis Sumatera dan Papua. Akibat ekspansi besar-besaran Hutan adat di tukar paksa dengan perkebunan sawit dan tambang. Masyarakat adat berjuang menolak hingga berujung penjara, Dan tak hanya itu, bencana alam pun di depan mata.
Masyarakat adat Laman Kinipan sudah turun temurun tinggal di Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Bersama 239 keluarga, sekitar 938 jiwa, mereka menggantungkan hidup dari hutan. Hingga Februari 2018, SML datang dengan alat berat menebang hutan besar-besaran. Pepohonan dihancurkan dan langsung ditanami sawit. Luasan perkebunan mereka mencapai 1.242 hektar.
Wilayah adat Laman Kinipan, pemukiman dan tanah pertaniannya pada 2018 digusur oleh PT. SML menggunakan alat berat demi kebun sawit. PT. SML berdalih bahwa penggusuran dan perambahan hutan tersebut dilakukan secara sah karena telah mengantongi izin pelepasan hutan seluas 19.091 hektar dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui surat 1/I/PKH/PNBN/2015 pada 19 Maret 2015. Kemudian berdasarkan Keputusan Menteri Agraria Dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nomor 82/HGU/KEM-ATR/BPN/2017 tentang Pemberian Hak Guna Usaha Atas Nama PT Sawit Mandiri Lestari seluas 9.435,2214 Hektar.
Namun terbitnya pelepasan hutan dan HGU di atas cacat hukum karena tanpa persetujuan masyarakat adat Laman Kinipan sebagai pemilik wilayah adat. Keputusan Menteri LHK dan ATR/BPN telah mengakibatkan tergusur dan hilangnya hutan adat seluas 3.688 hektar (hasil penelaahan peta HGU dan wilayah adat di Kementerian ATR/BPN, Agustus 2019) dan masih akan bertambah mengingat luasnya HGU tersebut.
Hingga kini konflik agraria di wilayah adat Laman Kinipan tak kunjung menemukan penyelesaian karena diacuhkan Menteri LHK, ATR/BPN dan Pemerintah Daerah setempat. Konflik agraria yang berlangsung selama ini telah mengakibatkan 6 (enam) anggota masyarakat adat Laman Kinipan mendekam di penjara, salah satunya kepala Desa Kinipan. Walaupun akhirnya 16 Juni lalu, Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pengadilan Negeri Palangka Raya menjatuhkan vonis bebas terhadap Willem Hengki (40). Kepala Desa Kinipan, Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau, tersebut tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
Khairul Abdi
Fotografer dan sineas yang berasal dari Suku Gayo Lues, Aceh. Berlatar perhatiannya pada kelestarian alam, ia mulai mempelajari fotografi dan perfilman secara nonformal sejak lulus SMA.