Suara mesin diesel dari kano pipih meraung-raung di antara awan-awan yang menggantung gelap dan air laut yang keruh. Pukul sebelas siang itu, Joko kembali dari melaut. Tujuh jam sebelumnya, Joko berangkat melaut berbekal umpan seekor ikan dan empat liter solar seharga seratus ribu rupiah. Ia mengendarai kapalnya sejauh sepuluh kilometer ke tengah laut dan menunggu tangkapan selama lima jam.
Tidak banyak yang ia dapat, hanya beberapa ekor kakap merah dan cakalang yang jika dikumpulkan hanya seberat dua kilogram saja. Pria berusia 49 tahun ini kemudian menyerahkan hasil tangkapan kepada istrinya yang dengan cekatan meletakkan seluruh ikan ke dalam baskom berwarna hijau-gelap. “Hanya sedikit ini, tidak bisa dijual, untuk makan sendiri saja,” kata Joko sambil tertawa getir.
Rumah Joko berada di Desa Kurisa, salah satu desa nelayan kediaman orang Bajau di bibir Laut Banda. Bertahun yang lalu, perairan di Kurisa jernih, lengkap dengan gugusan karang tempat ikan-ikan bermain. “Dulu, kami hanya perlu sebar jaring di bawah rumah, tunggu satu jam, sudah dapat tangkapan 10 kilo. Kalau sekarang, sudah syukur bisa bawa pulang ikan 5 kilo,” cerita Joko.
Sejak desa yang terletak di Kecamatan Bahodopi, Morowali, Sulawesi Tengah ini menjadi episentrum Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), kawasan pengolahan nikel terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara, laut di Kurisa tak lagi sama.
Berdasarkan rilis Rencana Pengelolaan Mineral dan Batubara Nasional tahun 2022-2027, total cadangan nikel di Indonesia mencapai 5,2 miliar ton bijih dan 57 juta ton logam. Jumlah tersebut setara dengan 23% cadangan nikel dunia. Meningkatnya permintaan nikel pada rantai pasok kendaraan listrik global mendorong pemerintah Indonesia menggenjot produksi nikel. Sepanjang 2023 saja Indonesia telah memproduksi 1,8 juta metrik ton. Jumlah ini setara 50% dari produksi nikel secara global.
Tingginya angka produksi itu didukung oleh kinerja dari kawasan industri nikel, seperti IMIP di Sulawesi Tengah, Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di kawasan Teluk Weda-Halmahera Tengah, Blok Sorowako di Sulawesi Selatan, tambang Pulau Gag di Papua Barat hingga tambang Kawasi di Pulau Obi. Dari data Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dua juta hektare lahan di Indonesia berpotensi nikel dan 800 ratus ribu hektare-nya telah dieksploitasi serta mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Kehadiran kawasan-kawasan industri nikel telah merubah kondisi lingkungan di sekitarnya. Perbukitan di Bahodopi yang mulanya rimbun lagi hijau, kini menjadi gundukan raksasa berwarna cokelat yang jika hujan tanahnya akan mencemari irigasi sawah-sawah dan sungai. Polusi akibat kepulan asap dari tungku smelter telah menyebabkan langit menjadi kelabu disertai dengan debu-debu hitam yang beterbangan dibawa angin.
Buangan air panas dari turbin Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang memasok listrik ke kawasan industri dialirkan langsung ke laut yang menyebabkan suhu air meningkat, merusak karang dan mengusir ikan dari teluk.
Selain itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tenggara pada Februari 2024 juga melaporkan bahwa sungai di sekitar kawasan industri dan tambang nikel rawan terpapar kromium heksavalen, bentuk senyawa dari proses industri. Senyawa ini dapat menyebabkan iritasi pada laring dan faring, masalah pernapasan, gatal hidung dan mimisan, ruam kulit, sakit ginjal, efek karsonegenik, melemahkan kekebalan tubuh hingga kematian. Paparan ini berbahaya mengingat hingga saat ini, masih banyak masyarakat setempat yang memanfaatkan air sungai untuk kegiatan sehari-hari seperti mandi dan mencuci pakaian.
Perairan di Pulau Obi dan Teluk Weda, tulis Mongabay, telah terindikasi mengandung logam berat seperti besi, nikel dan merkuri. Buruknya, aktivitas pertambangan nikel ini juga menyebabkan hilangnya sejumlah sumber mata air. Dan pembuangan limbah industri juga telah menyebabkan 12 biota laut tercemar logam berat dan berdampak pada ekosistem mangrove, terumbu karang serta sumber daya perikanan yang menjadi sumber pangan masyarakat setempat.
Kini, kapal-kapal nelayan yang sebelumnya memadati lalu lintas laut di Desa Kurisa digantikan oleh lalu-lalang tongkang-tongkang besar pengangkut batu bara dan bijih nikel. Tongkang-tongkang ini berangkat dari berbagai tambang nikel di Sulawesi, salah satunya dari Blok Mandiodo di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Meski terletak ratusan kilometer jauhnya dari IMIP, namun desa-desa nelayan di pesisir Konawe Utara bernasib serupa dengan Desa Kurisa.
“Air laut sudah keruh, kalau melaut sudah pasti tidak dapat ikan, mau tidak mau kerja di tambang,” ujar Lapola, seorang warga Desa Tapunggaeya, Konawe Utara.
Air laut di sekitar desa Lapola telah berubah warna menjadi kecoklatan karena aktivitas tambang. Debu-debu tebal juga telah melapisi aspal dan lantai rumah warga desa. Kata Lapola, jumlah penduduk di desanya semakin berkurang. Hal ini terjadi tidak hanya karena kondisi lingkungan sekitar yang membuat desa kian tidak layak ditinggali, tapi juga menjadi nelayan bukan lagi menjadi pilihan bagi warga desa. Sebab, ikan-ikan sudah lama pergi menjauh dari perairan sekitar desanya sehingga nelayan kesulitan mendapatkan penghasilan.
“Anak-anak muda sudah merantau dan pergi dari desa mencari kerja di tambang atau pabrik nikel. Sekarang, hanya tersisa orang-orang tua yang kadang masih coba melaut karena mereka tidak mampu bekerja di tambang,” terang Lapola. Seperti pemuda Desa Tapunggaeya lainnya, pria berusia 36 tahun ini pun kini beralih profesi menjadi pekerja tambang di Blok Mandiodo.
Selain Blok Mandiodo, IMIP adalah destinasi pilihan yang dituju oleh anak-anak muda dari desa Lapola untuk tempat bekerja. Tak heran jika populasi penduduk Bahopodi melonjak drastis. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, pada 2017 hanya ada 7.517 warga bermukim di Bahopodi, lalu angkanya naik menjadi sekitar 50.000 jiwa pada 2022. Lonjakan penduduk ini memicu bisnis indekos semakin menjamur.
Bangunan-bangunan susun petak menjejali Bahodopi, dibangun terburu-buru, berhimpit-himpitan di sekeliling kawasan IMIP. Sementara lahan kosong kini disulap menjadi tempat parkir. Dan warung-warung makan tumbuh subur di sana sini.
Jelang maghrib, lalu lintas di sekitar pintu gerbang IMIP begitu padat. Puluhan ribu pekerja berseragam abu-abu dengan helm kuning di kepala berlalu lalang berkendara motor roda dua. Ada yang bergegas pulang ke rumah, ada pula yang melaju mengejar sif malam. Beberapa di antaranya berhenti sejenak di warung kelontong kecil yang berdempetan di pinggir jalan untuk sekadar duduk atau menegak minuman kemasan dingin.
Di kejauhan, salah satu smelter baru saja melepas buangan asap tebal dari cerobong raksasa. Kepulannya mengudara, memutihkan langit yang jingga yang memayung Desa Kurisa.
Penyunting Naskah : Zhu