Search
Search

Suku Moi Hidup Bermartabat dengan Merawat Tanah dan Hutan

Text : Aisyah Hilal
Foto : Ulet Ifansasti
Selasa, 7 Mei 2024

Pada Hari Bumi Internasional 22 April ini kita mengingat kembali relasi kita dengan bumi, tempat kita hidup dan berpijak. Komunitas marga di Papua mengajak kita merefleksikan relasi itu.

Herman Malak (usia 80-an) tinggal di hutan dan tanah adat Gelek Malak Kalawilis Pasa seluas 2.794 hektare bersama 30 anggota komunitas geleknya. Hutan adatnya masuk di wilayah Distrik Sayosa, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat Daya. Gelek Malak Kalawilis Pasa—selanjutnya cukup disebut Gelek Malak—adalah komunitas marga di bawah payung besar Suku Moi, subetnik Moi Kelim. Dalam bahasa Moi, marga disebut dengan istilah gelek.

Herman Malak adalah Ketua Adat Gelek Malak. Ia bersama anggota tetua adat lainnya bertugas mengawasi wilayah, menerapkan sistem peradilan adat, dan menjaga tatanan kehidupan masyarakat adat di tingkat kampung.

Atas permintaan Herman Malak, pada 2019 Yayasan Pusaka Bentala Rakyat—LSM yang mengadvokasi hak-hak masyarakat adat di Papua—membantu Gelek Malak memetakan wilayah adat. Mereka menggunakan sungai, muara sungai, dan jembatan sebagai petanda tempat. Upaya Gelek Malak berbuah hasil. Pada 15 Oktober 2021 Pemerintah Kabupaten Sorong menerbitkan Surat Keputusan (SK) mengenai Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Suku Moi. Sejak Mei 2023 Gelek Malak kembali tinggal di tanah dan hutan adat mereka.

Ayub Radison Paa, staf Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, menunjukkan garis-garis perbatasan hutan adat Gelek Malak Kalawilis Pasa, Distrik Sayosa, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat Daya.
Anggota Gelek Malak Kalawilis Pasa bersiap berangkat berburu di hutan adat mereka.

Laporan Pemantauan Deforestasi Papua
Periode Januari-Februari 2024
menunjukkan pada tahun 2023 luas deforestasi mencapai 25.457 hektare,
naik dari 20.780 hektare di tahun 2022.

Tantangan tak berkesudahan

Ketika Gelek Malak memutuskan untuk kembali ke tanah adat dan melindungi kelestarian hutannya, mereka harus selalu waspada menghadapi berbagai pihak yang menjadi perpanjangan tangan perusahaan logging, baik yang legal maupun yang ilegal. Pihak-pihak ini menggunakan berbagai cara untuk bisa masuk ke wilayah adat Gelek Malak. Salah satunya datang dari PT Intimpura Timber Company, yang sebenarnya telah selesai haknya sejak 2009.

Kekhawatiran dan kewaspadaan Gelek Malak bukan tanpa alasan. Laporan Pemantauan Deforestasi Papua Periode Januari-Februari 2024 menunjukkan pada tahun 2023 luas deforestasi mencapai 25.457 hektare, naik dari 20.780 hektare di tahun 2022. Gelora nafsu investor bisnis pengolahan kayu dan perkebunan kelapa sawit belum meredup.

“Tanpa hutan, kita manusia tidak akan bisa hidup.
Kita merdeka manfaatkan segala sumber makanan, juga obat-obatan yang ada di hutan. […]”, tegas Korneles Malak—anggota tetua adat Malak.

Gelek Malak teguh pada pendirian dan penghormatan atas janji kepada leluhur untuk melindungi tanah, hutan, beserta segala isinya. “Tanpa hutan, kita manusia tidak akan bisa hidup. Kita merdeka manfaatkan segala sumber makanan, juga obat-obatan yang ada di hutan. Jika kami jual tanah, misalnya saya pegang satu miliar, uang bisa habis dalam satu bulan. Tapi kalau punya tanah, kami bisa terus hidup dengan memanfaatkan seperlunya. Kalau kami menggunakannya berlebihan, kami merasa rugi sendiri. Itu yang bedakan kami dengan perusahaan”, tegas Korneles Malak—anggota tetua adat Malak.

Pohon Merbau muda di hutan adat Gelek Malak Kalawilis Pasa.
Mesak Malak menunjukkan cara menikmati air alami dari 'tali air' (cabang pohon hiu, yang mampu menyimpan air) di hutan adat Gelek Malak Kalawilis Pasa.
Agus Kalalu melakukan pemeliharaan kebun komunal.
Anggota Gelek Malak Kalawilis Pasa memanen cabai di kebun komunal yang berada di tengah-tengah pemukiman dalam hutan adat. Mereka kemudian menjualnya ke Pasar Remo di Kota Sorong.
Makan malam dengan sajian papeda, nasi, dan lauk ikan segar yang diambil dari Sungai Klais Malak.

Berdaulat pangan

Ketika Gelek Malak memutuskan kembali ke tanah adat, mereka merevitalisasi kebun untuk pangan lokal. Kebun Gelek Malak berada di tengah-tengah beberapa rumah panggung, tempat menetap sebelas keluarga. Lahan kebun komunal ini menghampar luas, ditanami sayur, rempah, dan umbi-umbian (singkong, ubi jalar, talas) secara tumpang sari, juga tanaman buah seperti pisang, kelapa, rambutan, jeruk asam, dan langsat. Umbi-umbian itu menjadi makanan pokok, selain saripati tanaman sagu yang mereka olah menjadi bubur sagu (papeda). Dengan tersedianya beragam pilihan makanan pokok ini, gejolak harga beras tidak terlalu berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari Gelek Malak.

Bahkan ketika hujan membuat hutan adat mereka terkepung genangan banjir di bekas jalur logging dan jalan utama Mancaraya, Gelek Malak masih bisa menikmati masakan sedap berkat aneka rempah dari kebun mereka. Ada lengkuas, kunyit, jahe, daun jeruk, serai, pandan, kemangi, dan cabai (rica). Mereka juga punya umbi dumlas yang digunakan sebagai pewangi makanan, serta kulit kayu gisikisik yang berasa seperti bawang.

“Di Papua tanah itu bagus. Menanam apa saja bisa tumbuh baik, kecuali tanah di kebun sawit yang sudah terlalu sakit karena kebanyakan pupuk kimia!” ujar Mince Ulala, salah satu anggota gelek.

Gelek Malak juga berburu rusa, kanguru tanah (lau-lau), dan babi hutan untuk kebutuhan pangan mereka. Kisdek (rumah kebun) Herman Malak bersisian dengan lembah rendah yang dialiri sungai berair jernih dari muara Sungai Klais Malak. Dari sana lah kebutuhan air bersih mereka sehari-hari berasal, juga sumber pangan seperti beragam jenis udang dan ikan.

Pembatasan kegiatan berburu juga diterapkan kepada generasi muda Gelek Malak. Berburu hanya boleh menggunakan tombak, mengambil secukupnya, menghormati dan mematuhi batas wilayah terlarang.

Gelek Malak memanfaatkan hutan sesuai kebutuhan. Apabila mereka telah mendapat hewan buruan, mereka baru akan berburu lagi satu hingga dua minggu kemudian. “Itu sudah jadi budaya kami,” terang Herman Malak, “Kami merasa cinta dan hormat terhadap yang kami miliki.”

Pembatasan kegiatan berburu juga diterapkan kepada generasi muda Gelek Malak. Berburu hanya boleh menggunakan tombak, mengambil secukupnya, menghormati dan mematuhi batas wilayah terlarang. Peraturan-peraturan adat ini harus ditaati oleh seluruh anggota Gelek Malak. Tanpa kecuali.

Anggota Gelek Malak Kalawilis Pasa berburu di Sungai Klais Malak.
Udang hasil tangkapan dari kegiatan berburu Gelek Malak.
Boas Malak menunjukkan udang hasil tangkapannya di Sungai Klais Malak.

Jejaring dan daya dukung

Gelek Malak mafhum bahwa kelestarian wilayah adat mereka juga bergantung kepada komunitas-komunitas marga sekitar (Gelek Gilik, Gelek Klaili, Gelek Sayosa, Gelek Klasibin, Gelek Kalalu, dan Gelek Doo), yang mereka ajak untuk bersama-sama menjaga tanah adat. Masih tersimpan harapan di dada Gelek Malak agar saudara-saudara marga lain teguh pendirian setiap kali menghadapi iming-iming investor.

Secara internal Gelek Malak terus berbenah dalam hal pengelolaan tanah dan hutan adatnya. Mereka secara bertahap menginventarisasi tanaman endemik, seperti kayu kuku (yumuk) dan kayu besi (merbau). Mereka juga mulai bersiap mendokumentasikan burung endemik di wilayah di hutan mereka.

Wilayah adat Gelek Malak termasuk jalur yang biasa dilewati oleh burung-burung endemik Papua. Gelek Malak berencana mengunjungi Kampung Malagufuk, yang lebih dulu merintis pengelolaan wisata minat khusus pengamatan burung di hutan adat mereka, Hutan Klaso.

Alam yang menghidupi

Hutan Klaso di Ecovillage Malagufuk terletak di Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat Daya. Untuk masuk gerbang utama Kampung Malagufuk kita harus melewati jembatan kayu merbau sepanjang 3,305 meter. Di sepanjang jembatan kayu, hiruk pikuk suara beragam jenis burung dan hewan darat menyambut, sahut-menyahut.

Amos Kalami—Kepala Kampung Malagufuk—pada 1998 memberanikan diri menggalang kekuatan bersama anggota marga lain untuk mengusir penyurvei korporasi penebangan hutan di kampung Malaumkarta Lama—jalan utama kabupaten, di tepi laut.

Pemandangan aerial Ecovillage Malagufuk di Hutan Klaso di Desa Malagufuk, Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya.
Warga desa melintasi jembatan berbahan kayu merbau di Malagufuk.

“Saya ingat betul, waktu itu 18 November 2014, kami masuk hutan untuk mengembangkan kebun. Keesokan harinya, 19 November, tahu-tahu saja sudah ada kunjungan turis ke Malagufuk untuk lakukan pengamatan burung,” kenang Amos Kalami.

Pada 2002 ia bersama anggota Gelek Kalami yang lain merintis pembuatan kebun di Hutan Klaso sebagai bagian dari program gereja Malaumkarta. Pada waktu itu belum ada rencana membuat kampung di sana. Beberapa tahun setelahnya sebuah insiden konflik horizontal antargenerasi muda terjadi di Malaumkarta. Kejadian ini melecut niat Amos Kalami untuk memfinalisasi kepindahan ke Hutan Klaso. Pindah kampung terlaksana pada 2014.

“Saya ingat betul, waktu itu 18 November 2014, kami masuk hutan untuk mengembangkan kebun. Keesokan harinya, 19 November, tahu-tahu saja sudah ada kunjungan turis ke Malagufuk untuk lakukan pengamatan burung,” kenang Amos Kalami, “Keputusan memilih kembangkan potensi ekowisata pengamatan burung datang dari anak-anak muda kami. Saya rasa pengalaman tereskspos dalam pergaulan dengan kawan-kawan LSM membuat mereka memiliki visi ke sana. Ditambah, ketika mereka masih kecil dulu, manakala mereka berburu binatang hutan dari Malaumkarta ke Malagufuk, mereka sering melihat cendrawasih melintasi hutan kami.”

Pos pengamatan burung di Hutan Klaso, Malagufuk.
Burung Raja Udang (Cekakak) Papua terlihat di hutan hujan dataran rendah Klaso di Desa Malagufuk.
Burung Hantu Punggok Papua di Hutan Klaso.
Burung Cendrawasih di Hutan Klaso.

Berkembang tanpa merusak

Kampung Malagufuk seluas 2.717,90 hektare, didiami oleh 14 keluarga dari subetnik Moi Kalami dan Moi Magablo. Total ada 79 jiwa, menempati 10 unit rumah. Prasarana komunal kampung meliputi sekolah dasar, gereja, serta rumah budaya.

Untuk membuat rumah, warga Malagufuk memanfaatkan pohon-pohon tumbang di hutan mereka. Itu pun hanya boleh diambil dari area tertentu saja. Ada area hutan adat Kalami Malagufuk yang sepenuhnya dilindungi, tidak boleh diakses bahkan oleh gelek mereka sendiri. Amos Kalami berani mengatakan bahwa Hutan Klaso Malagufuk masih berupa hutan primer (okrien, istilah Moi untuk hutan tutupan alami).

Bertambahnya jumlah penduduk kampung memang tidak bisa dihindari. Gelek Kalami Malagufuk berancang-ancang, jika pun nantinya akan ada pengembangan kawasan hunian, fokus pembangunan akan ke arah Barat, karena di Timur berbatasan dengan gelek lain.

“Sebetulnya anggota gelek kami masih ada banyak. Sebagiannya tinggal di kota. Namun, berdasar musyawarah adat, mereka yang sudah [tinggal] di kota tidak disarankan untuk pulang ke kampung,” jelas Opyor Kalami, putera tertua Amos Kalami. Keputusan musyawarah adat ini demi menjaga keseimbangan antara ketersediaan sumber daya alam dengan kebutuhan menjalani kehidupan secara layak dan bermartabat.

Prinsip hidup saya, "kau jaga hutan, kau jaga alam, maka alam akan jaga kamu nanti".

Di Kalawilis Pasa dan Malagufuk, pohon sagu ditanam secara tersebar dan juga terkelompokkan di area-area tertentu. Dalam tradisi suku Moi, pohon sagu sangat dimuliakan. Seluruh bagian dari pohon ini membawa manfaat. Batang pohon yang sudah selesai ditokok bisa dimanfaatkan menjadi material membuat lantai dan dinding rumah panggung. Begitu juga dengan pelepah sagu utuh, bisa dimanfaatkan menjadi material dinding rumah. Daun sagu dimanfaatkan menjadi atap rumah dengan cara menjahitnya. Seperti halnya daun pohon tikar, kulit pelepah sagu juga bisa digunakan sebagai material membuat alas tikar. Tulang daun sagu dimanfaatkan menjadi material sapu lidi dan obor. Setelah didiamkan beberapa lama, akar sagu yang telah dipotong akan menjadi tempat ulat sagu berkembang biak. Masyarakat Papua secara umum memanen ulat sagu ini sebagai bahan pangan juga.

Amos Kalami dan Batseba Mobilala istrinya, memanen sagu di Hutan Klaso, Malagufuk.
Sagu kering sedang dipanggang di Desa Malagufuk.

Perjanjian dengan leluhur

Untuk menjaga kelestarian sumber-sumber kehidupan, Kampung Malagufuk bekerja sama dengan gereja mengaktifkan tradisi egek. Egek, dikenal juga dengan istilah sasi, adalah larangan bagi warga masyarakat adat untuk memanfaatkan sumber daya alam di suatu kawasan, dalam kurun waktu tertentu. Jika pun bisa dimanfaatkan, mereka menentukan dengan ketat wilayah-wilayah yang bisa diakses.

Sejauh ini keputusan musyawarah adat Malagufuk secara permanen menerapkan sasi terhadap sumber daya alam yang ada di darat [hutan]. Warga hanya boleh berburu babi hutan dan rusa saja. “Sumber pangan di laut lebih longgar untuk dikonsumsi karena dirasa jumlahnya masih berlimpah dibanding sumber pangan di darat. Kami harus akui kenyataan bahwa sekarang semua kampung makin mendekat [ke hutan]. Jika tidak dibatasi secara permanen, semakin banyak yang akan ambil sumber daya hutan. Kalau sudah begitu, potensi habisnya [sumber daya hutan] akan tinggi”, urai Opyor Kalami.

Berdasarkan kesepakatan komunitas marga dan musyawarah adat, sasi memungkinkan untuk dibuka jika ada keperluan bersama di kampung, semisal untuk pembangunan gereja. Yang dimaksud dengan membuka sasi adalah menarik kembali perjanjian sakral dengan leluhur dan perjanjian dengan Tuhan. Setelah sasi dibuka, barulah sumber daya alam bisa diambil. Jika musyawarah adat memutuskan tidak ada keperluan, maka sasi akan tetap ditutup. Dengan demikian larangan penangkapan atau perburuan tetap berlaku hingga waktu yang tidak terbatas.

Seorang warga desa menunjukkan jamur hasil rambannya di Hutan Klaso, Malagufuk.
Opyor Kalami—pemandu kegiatan pengamatan burung—memantau burung-burung di hutan.

Berjuang merawat alam

Musim kawin burung-burung, sekitar Oktober, adalah masa tersibuk Kampung Malagufuk. Meskipun minat pengunjung semakin tinggi, maksimal 20 orang tamu saja yang boleh datang secara bersamaan. Pembatasan ini terutama demi menjaga kesejahteraan satwa hutan dan demi kenyamanan aktivitas pengamatan burung.

Opyor Kalami mengatakan, “Hutan harus terus dijaga, bahkan setelah generasi saya mati. Generasi-generasi setelah saya harus tetap menjaga hutan sebaik-baiknya. Prinsip hidup saya, ‘kau jaga hutan, kau jaga alam, maka alam akan jaga kamu nanti’. Dengan teguh pada prinsip ini, saya yakin kita bisa berkembang dan berdiri sendiri dengan keyakinan kita, tanpa banyak dipengaruhi orang luar.”

Meski telah dijaga sedemikian, ancaman kerusakan lingkungan mengintai Kampung Malagufuk. Di Maret 2024, Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya memberi lampu hijau kepada investor pembangunan smelter nikel dan pabrik pembuatan baja di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sorong. Jika rencana ini direalisasi, Kampung Malagufuk, Hutan Klaso beserta seluruh kekayaan ragam hayatinya terancam hilang.

Inilah yang terus diperjuangkan oleh masyarakat adat beserta beberapa LSM pendamping agar laju pertumbuhan ekonomi versi pemerintah tidak menjadi ancaman bagi perjuangan masyarakat untuk menjaga dan melestarikan ruang hidupnya.

Sudah seharusnya negara menghormati pilihan dan corak ekonomi masyarakat adat. Termasuk melindungi sumber daya ekonomi dan wilayah kehidupan yang masyarakat adat miliki, dari berbagai ancaman dan tekanan ekonomi ekstraktif.

Belum semua memiliki hak sama

Dibandingkan Gelek Malak Kalawilis Pasa dan Gelek Kalami Malagufuk ada gelek lain yang nestapa karena melepaskan hak pengelolaan tanah adat kepada korporasi. Warga Kampung Malalilis merasakan getirnya tinggal di daerah kantong (enclave) dalam area HGU perkebunan sawit PT. Henrison Inti Persada di Distrik Sayosa. Mereka menempati rumah-rumah yang dibangun pemerintah bagi warga yang bekerja dan tinggal di area perkebunan sawit.

Salah satunya keluarga Yeheskiel Malak. Ia dan istrinya pernah menjadi buruh perkebunan. Keduanya lantas mengalami PHK. Yeheskiel Malak merasakan perbedaan kualitas hidup yang signifikan antara di Malalilis dan di hutan adat Gelek Malak. Warga Malalilis menyandarkan hidup pada penjual sayur dan penjual ikan keliling. Air bersih bergantung pada penampungan air hujan atau pembelian air galon.

Tatapan Yeheskiel menerawang, “Kalau buruh terlambat terima gaji, mereka terpaksa mengutang pembelian sayur, ikan, sembako, dan air. Di situasi seperti ini, penjual-penjual berkoordinasi dengan pengawas perkebunan dan meminta agar pembayaran utang langsung dipotong dari gaji si buruh. Kalau sudah begitu, kehidupan buruh akan terus-terusan terlilit utang.”

Hidup bermartabat sesuai pilihan sendiri

Masyarakat adat di Malagufuk mampu hidup dengan mengelola potensi alam, selaras dengan penghormatan mereka terhadap tanah dan hutan adat. Cara mengembangkan ekowisata ini bisa menjadi inspirasi bagi komunitas marga lain di Papua. Demikian juga upaya Gelek Malak mencari format pengelolaan tanah adat yang paling sesuai dengan wilayah kehidupan mereka.

Franky Samperante—Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Bentala Rakyat—meneguhkan prakarsa masyarakat adat seperti dilakukan oleh Gelek Kalami Malagufuk, “Dalam konteks hak asasi manusia, negara memiliki kewajiban memajukan hak dasar rakyat, termasuk menghormati dan melindungi hak masyarakat adat. Sudah seharusnya negara menghormati pilihan dan corak ekonomi masyarakat adat. Termasuk melindungi sumber daya ekonomi dan wilayah kehidupan yang masyarakat adat miliki, dari berbagai ancaman dan tekanan ekonomi ekstraktif.”

 

Penyunting Teks: Kurniawan Adi Saputro

Kami menerima kontribusi foto cerita untuk ditayangkan di situs ini. Tema yang diusung adalah seputar dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan, ketahanan dan adaptasi masyarakat serta inovasi-inovasi yang dilakukan untuk menghadapi tantangan perubahan iklim. Silakan kirimkan tautan berisi foto resolusi rendah, teks, dan profil singkat ke submit@iklimku.org. Kami akan segera memberi tanggapan kepada Anda. Terima kasih.