Sore itu sejumlah perempuan berkumpul di pesisir Kampung Waleh, Teluk Weda, Pulau Halmahera. Mereka membawa keranjang penuh kerang yang diambil dari hutan bakau, tak jauh dari pemukiman. Kerang bakau itu dibersihkan cangkangnya, lalu dicuci menggunakan air laut. “Air laut di pantai ini sekarang so tidak sama seperti dulu. Dulu jernih, sekarang kabur model ini,” ujar salah seorang dari mereka.
Sejak tiga tahun belakangan, air laut di sepanjang pesisir kampung berwarna kecokelatan. Kondisi ini disebabkan sungai yang bermuara di pesisir kampung ini mengalir dan membawa endapan lumpur yang pekat. Lumpur tersebut berasal dari bak penampung limbah (sedimen basin) milik PT. Bakti Pertiwi Nusantara (BPN), salah satu perusahaan tambang nikel, yang mengeksploitasi kawasan hutan di bagian hulu sungai.[1]
Akibat pencemaran, derita harus dialami warga. “Gara-gara perusahaan, torang pe kampung jadi begini,” kata warga tadi. Perusahaan tambang tersebut kemudian dikabarkan telah dikenai sanksi. Namun, pemulihan lingkungan tampaknya belum juga berjalan.
Wilayah Teluk Weda menjadi kawasan pengembangan industri nikel yang masuk dalam program strategis nasional pemerintah. Indonesian Weda Bay Industrial Park (IWIP) adalah perusahaan pengelola kawasan seluas 5000 Ha yang di dalamnya terdapat puluhan infrastruktur pabrik pengelolaan dan pemurnian biji nikel. Meski baru berdiri pada 2018, kawasan ini terintegrasi dengan sejumlah perusahaan tambang yang sudah beroperasi jauh sebelumnya.
Pembukaan lahan skala besar untuk tambang menyebabkan hilangnya tutupan hutan[2] dan mengakibatkan kondisi lingkungan memburuk. Banjir besar sering terjadi dan degradasi ruang hidup semakin parah.[3] Selain Teluk Weda, kondisi serupa juga terjadi di Teluk Buli, Kabupaten Halmahera Timur, dan Pulau Obi di Halmahera Selatan. Ketiga wilayah ini merupakan episentrum industri nikel di Provinsi Maluku Utara.
Maluku Utara berada dalam kawasan Garis Wallacea, kawasan biogeografis Kepulauan Maluku, Sulawesi dan Nusa Tenggara, yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini menjadi rumah bagi 10.000 jenis tumbuhan yang 15% di antaranya tumbuhan endemik, serta 126 mamalia, 99 reptil dan 58 amfibi yang semuanya juga endemik. Kawasan Wallacea ini didominasi oleh pulau-pulau kecil. Kondisi geografisnya yang dibatasi samudera dan lautan membuat kawasan ini menjadi surga keragaman hayati lautan yang dikenal dengan nama Segitiga Terumbu Karang.[4]
Meski demikian, keragaman hayati ini terancam akibat masifnya industri pertambangan. Data Kementerian ESDM[5] menunjukkan terdapat 106 IUP (Ijin Usaha Pertambangan) aktif yang menguasai kurang lebih 612.000 hektare wilayah Maluku Utara, termasuk pulau-pulau kecil tersebut. Organisasi Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menyebut pulau-pulau di Indonesia terus menerus menjadi teritori yang ramah terhadap industri ekstraktif –industri yang menggerus keselamatan lingkungan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Pulau-pulau kecil, terutama di Indonesia Timur, telah menjadi saksi keganasan industri ekstraktif. Mereka mencatat terdapat 55 pulau yang telah dikuasai perusahaan pertambangan. Dari angka tersebut, 29 pulau dikuasai oleh tambang nikel.[6]
Di Pulau Obi, kampung nelayan Kawasi tengah terhimpit pembangunan kawasan industri nikel milik Harita Grup. Puluhan infrastuktur pabrik pengolahan bijih nikel berdiri di wilayah perbukitan yang mengelilingi kampung itu. Kawasan hutan di sekitarnya telah terbabat dan ditambang.
Sungai-sungai kecil, rawa, dan perairan di Kawasi berwarna merah kecoklatan bercampur lumpur. Laporan investigasi yang dilakukan The Guardian baru-baru ini melaporkan satu-satunya sumber air bersih yang dikonsumsi warga Kawasi telah terkontaminasi hexavalent chromium (Cr6+). Kromium Heksavalen ini disebut bisa menyebabkan kerusakan organ hati dan kanker perut. Hasil pengujian di laboratorium menunjukkan kontaminasi telah melebihi ambang batas yang ditetapkan.[7] Laporan investigasi itu juga mengungkap adanya infeksi saluran pernapasan yang diderita oleh balita akibat buruknya kondisi udara di sana.
Industri nikel di Pulau Obi menjadi yang pertama memproduksi dan mengekspor bahan baku baterai kendaraan listrik di Indonesia. Nikel, sebagai bahan baku baterai listrik, sangat berlimpah di Indonesia – terdapat deposit sebanyak 52% dari cadangan dunia, dan tersebar di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara.[8] Kendaraan listrik kini menjadi tren dunia karena diyakini sebagai kendaraan yang ramah lingkungan, dapat menekan emisi karbon dan perubahan iklim. Sayangnya, klaim tersebut berbanding terbalik dengan kondisi tempat di mana bahan bakunya ditambang. Warga di sekitarnya harus menahan derita yang berkepanjangan.
Pada pertengahan 2021, sejumlah nelayan ikan teri di Teluk Buli, Halmahera Timur, mengeluhkan lalu-lalang kapal pengangkut hasil tambang nikel. Ronaldo Riung (49), salah seorang nelayan, menuturkan kondisi perairan di sekitar berulangkali tercemar ore (tanah hasil tambang) yang jatuh ke laut dari kapal pengangkut.
Ronaldo tinggal di Pulau Belemsi, satu dari gugusan pulau-pulau kecil di Teluk Buli. Pulau ini bersebelahan dengan Pulau Pakal dan Pulau Gee, yang menjadi lokasi pertambangan PT. Aneka Tambang (Antam). Antam mulai menambang di Pulau Pakal pada 2010 setelah sebelumnya mengeruk habis Pulau Gee sejak 1997. Lalu-lalang kapal pengangkut hasil tambang, kata Ronaldo, sangat berdampak pada aktivitas nelayan bagan. “Memang sangat dirasakan [dampaknya]. Contohnya minggu lalu, ada beberapa unit bagan yang kena buangan oli kotor,” ujarnya.
Sekitar 9 mil ke arah barat, Bukit Moronopo di daratan Pulau Halmahera juga ditambang, menyebabkan pesisir di sana tercemar lumpur. Dam Pengendali milik perusahaan berulang-kali jebol sehingga limpasan lumpur mengalir ke sungai hingga pesisir laut, mengganggu ekosistem bakau dan perairan. Dinas Lingkungan Hidup setempat mencatat luasan endapan lumpur mencapai 4 hektare.[9]
Nelayan di sana mengaku, hasil tangkapan mereka terus menurun. “Dulu, rata-rata 1500 kg bisa dapat teri kering. Itu dari 1995 sampai pada 2000an awal. Lima tahun terakhir, rata-rata cuma 300an kilogram dalam sebulan,” keluhnya.
Sebuah penelitian berjudul “Dampak Pertambangan Nikel Terhadap Daerah Penangkapan Ikan di Perairan Kabupaten Halmahera Timur” menyebutkan pertambangan nikel memberikan pengaruh yang besar terhadap penurunan kualitas perairan dan penurunan ukuran ikan layak tangkap terutama untuk alat tangkap bagan.[10] Para nelayan meminta pemerintah dan perusahaan menjamin keberlanjutan kehidupan mereka.
“Mereka [tambang] kan mencarinya di darat, kami mencarinya di laut. Kami kan tidak mencemarkan darat, mereka juga jangan cemarkan laut agar kami juga bisa hidup lagi,” harapnya.
[1] https://halmaherapost.com/2020/06/12/sungai-waleh-tercemar-pt-bpn-harus-diberi-disanksi/
[2] https://betahita.id/news/detail/7977/mula-hutan-terbabat-nikel.html?v=1664204780
[3] https://aeer.info/wp-content/uploads/2022/08/Nikel-baterai-2021.pdf
[4] http://www.wallacea.org/biodiversitas/
[5] https://geoportal.esdm.go.id/emo/
[6] https://www.jatam.org/pulau-kecil-indonesia-tanah-air-tambang-2/
[7] https://www.theguardian.com/global-development/2022/feb/19/we-are-afraid-erin-brockovich-pollutant-linked-to-global-electric-car-boom
[8] https://www.esdm.go.id/assets/booklet/tambang-2020/Booklet-Nikel-FA.pdf
[9] https://tirto.id/nasib-nelayan-halmahera-timur-berjibaku-dengan-limbah-tambang-nikel-ggye
[10]https://journal.ipb.ac.id/index.php/JIPI/article/view/13095/9882