Tidak terbayangkan rasanya harus tinggal berdampingan seumur hidup dengan debu-debu residu Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Debu-debu yang mengendap di atap rumah, mengotori lantai dan menempel di jemuran pakaian adalah pemandangan yang biasa bagi warga yang tinggal di sekitar Kawasan PLTU Suralaya, Cilegon, Banten. Bak sudah jatuh tertimpa tangga, warga terpaksa turut menghirup dan merasakan dampak udara buruk dari aktivitas PLTU tersebut. Akibatnya, warga kerap merasakan sesak nafas, kondisi tubuh panas-dingin, batuk disertai pilek dan gatal-gatal. Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) mengeluarkan hasil risetnya yang menyakatan bahwa polusi PLTU batu bara menyebabkan 1.470 kematian setiap tahun dan menimbulkan kerugian kesehatan hingga Rp14,2 triliun.
“Ya, kemungkinan dari polusinya, kurang enak. Apa dari debu-debu itu, ya, yang sering saya rasa, ya itu. Kadang mah cepet terserang batuk, pilek, sesak, sama panas. Batuk-batuk itu, seperti anak-anak batuk kering, batuk berdahak, panas-dingin. Kadang ini berbau. Bau apa? ini dari PLTU,” terang Cicik, seorang warga yang telah tinggal di Kelurahan Suralaya selama 20 tahun. PLTU Suralaya juga diduga menjadi salah satu faktor utama buruknya kondisi udara di DKI Jakarta.
Sebagaimana diketahui, Jakarta sendiri tidak memiliki PLTU batu bara. Polusi udara dari PLTU ini tidak hancur di atmosfer, hingga menyebabkan terbawa angin (transboundary air pollution) sampai ke Jakarta. Kota Jakarta pernah menempati posisi pertama kota dengan polusi terparah di dunia menurut IQAir dengan indeks kualitas udara mencapai 156. Jika dihitung menggunakan indeks IQAir yang menyatakan bahwa PM2.5 adalah polutan utama dengan konsentrasi sebanyak 58 mikrogram per normal meter kubik, maka konsentrasi PM2.5 di Jakarta saat itu 11.6 kali lebih banyak daripada nilai panduan kualitas udara tahunan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Krisis udara bersih ini diikuti dengan lonjakan kasus Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), khususnya di Jakarta. Pada Januari hingga Juli 2023, terjadi lonjakan kasus ISPA yang signifikan dengan rata-rata di atas 100.000 kasus
Pada puncak musim kemarau, wilayah Indonesia khususnya di Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) selalu berhasil menduduki peringkat teratas dalam daftar kota-kota dengan kualitas udara terburuk di dunia. Beberapa pekan sebelumnya, IQAir mencatatkan rekor buruk serupa dicapai Cileungsi, Jawa Barat, dengan AQI 169 dan Tangerang Selatan, Banten dengan AQI 165.
Krisis udara bersih ini diikuti dengan lonjakan kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), khususnya di Jakarta. Pada Januari hingga Juli 2023, terjadi lonjakan kasus ISPA yang signifikan dengan rata-rata di atas 100.000 kasus. Puncaknya ada di Agustus dengan jumlah kasus di atas 200.000 atau setara 6.000 kasus per hari.
Sandiaga Uno, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo sempat menderita batuk yang diduga akibat polusi udara. “Presiden sendiri sudah batuk, katanya hampir empat minggu. Beliau belum pernah merasakan seperti ini, dan kemungkinan ada kontribusi daripada udara yang tidak sehat dan kualitasnya buruk kata dokter,” terang Sandi di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (14/8) dikutip dari CNN Indonesia.
Menghirup asap kendaraan bermotor setiap hari ibarat sebuah bom waktu bagi kesehatan manusia. Asap dari kendaraan bermotor ini dapat iritasi mata, radang tenggorokan, sesak nafas hingga radang paru-paru.
Menanggapi hal genting ini, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar kemudian mengungkapkan dua sumber utama yang diduga menjadi sebab pencemaran dan penurunan kualitas udara Jabodetabek, yaitu 44% berasal dari kendaraan bermotor dan 34% dari PLTU. Kemudian sisanya adalah limbah rumah tangga dan pembakaran, baik dari industri kecil atau besar.
Menghirup asap kendaraan bermotor setiap hari ibarat sebuah bom waktu bagi kesehatan manusia. Asap dari kendaraan bermotor ini dapat menyebabkan iritasi mata, radang tenggorokan, sesak napas, hingga radang paru-paru. Menurut data Badan Pusat Statistik, jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakarta terus meningkat setiap tahunnya. Pada 2022 saja jumlah kendaraan naik menjadi 26,4 juta. Jumlah ini meningkat drastis dibandingkan pada 2018 dengan total 22,5 juta kendaraan. Melihat kenyataan ini, warga Jakarta dan beberapa aktivis lingkungan melakukan aksi protes.
Bersama Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara Kota dan Semesta (IBUKOTA), mereka mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta segera mengatasi masalah polusi udara yang semakin memburuk dan bertanggung jawab atas kerugian yang dialami warga akibat masalah pencemaran udara. Aksi ini adalah respon lanjutan dari hasil rapat antara Presiden Joko Widodo dan jajaran terkait termasuk Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono yang ternyata tidak menjawab tuntutan-tuntutan dalam gugatan warga negara atau citizen lawsuit (CLS) mengenai Hak Udara Bersih yang telah dimenangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 16 September 2021 lalu.
Warga Jakarta tetap dituntut mandiri mencari solusi untuk melindungi diri dari dampak polusi udara. Tidak ada peringatan dini dari pemerintah untuk masalah ini. Yang ada hanyalah solusi-solusi yang tidak tepat sasaran
Pada November 2023, Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi gugatan polusi udara Jakarta yang dilayangkan kepada Presiden Joko Widodo dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar. Hakim Mahkamah Agung menyatakan pemerintah tetap bersalah dalam pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat di wilayah DKI Jakarta. Meskipun demikian, masih belum ada upaya signifikan dari pemerintah untuk mengatasi krisis polusi udara yang terjadi khususnya realisasi reformasi kebijakan dan keterbukaan informasi publik terkait industri, pabrik, dan PLTU batu bara penyumbang polusi udara.
Warga Jakarta tetap dituntut mandiri mencari solusi untuk melindungi diri dari dampak polusi udara. Tidak ada peringatan dini dari pemerintah untuk masalah ini. Yang ada hanyalah solusi-solusi yang tidak tepat sasaran, seperti pemberian sanksi kepada kendaraan pelanggar uji emisi, penerapan sistem 4 in 1 untuk mobil pribadi dari luar Jakarta dan penyemprotan air dari atas gedung dan di jalan-jalan utama Jakarta. Informasi dan inisiatif justru muncul dari lembaga-lembaga nonpemerintah. Karenanya, hingga saat ini masyarakat hanya berharap ‘perlindungan’ dari musim hujan semata.