Disclaimer: Sesuai konsep pertunjukan di mana penonton diajak menjadi salah satu aktor, maka tulisan ini menggunakan sudut pandang orang kedua “kau” dengan harapan pembaca mendapatkan pengalaman yang kontekstual dengan konsep yang ditawarkan Teater Garasi.
*
Barangkali benar, hari ini waktu telah membawa dunia dalam lintasan berkecepatan tinggi. Segalanya kau cerap dalam bentuk fragmen, termediasi, terdistraksi, selalu gegap gempita, dan tak pernah utuh.
Sensasi ini yang kau rasakan Hari Sabtu, 1 Juli lalu saat menonton pertunjukan teater Waktu Batu: Rumah yang Terbakar (WBRyT) di Jogja National Museum (JNM), Yogyakarta. WBRyT disutradarai oleh Yudi Ahmad Tajudin dan merupakan versi keempat dari proyek panjang Teater Garasi (Garasi Performance Institute) yang mereka mulai sejak 2001 lalu. Pada bentuk termutakhirnya ini, mereka menggandeng jejeran aktor muda seperti Ari Dwianto, Erythrina Baskoro, Tomomi Yokosuka, Arshita Iswardhani, Putu Alit Panca, Enji Sekar, Syamsul Arifin, Wijil Rachmadhani, dan Putri Lestari. Eksplorasi mereka kali ini disusun dari eksperimen silang media antara teater, video game, dan sinematografi yang dipakai untuk membungkus tema besar soal duka ekologis (ecological grief), serta beberapa sub-tema lain seperti sampah, domestik, dan dekolonisasi.
Hasilnya?
Kompleks dan berlapis—-untuk tak menyebutnya ruwet.
Duduk menonton pertunjukan berdurasi 75 menit tersebut, rasanya kau tak mungkin menikmati keseluruhan visual, dialog, gerak, dan suara yang melimpah tersebut secara utuh. Saking penuhnya, yang bisa kau lakukan adalah menelan fragmen demi fragmen. Kadang kau fokus ke satu aktor, lalu pindah ke satu layar, dan seterusnya. Persis seperti pengalamanmu mencerap dunia hari-hari ini.
Disorientasi dan Celaka yang Dibawa Kala
Aturan tak tertulisnya jelas, kau tak bisa menonton WBRyT dengan kepala kosong —atau kau akan kehilangan arah. Referensi pada sejarah, legenda, isu, wacana, berita, atau tren penanda zaman mutlak berfungsi sebagai jangkar selama menikmati WBRyT. Sebab narasi dan bentuk teater eksperimental ini akan mudah membuatmu tersasar.
Dalam kasus WBRyT, sejak awal kau diberitahu bahwa proyek panjang ini memakai tiga hikayat kuno soal penciptaan waktu dalam tradisi Jawa sebagai titik mulainya: Watugunung, Murwakala, dan Sudamala.
Dan seperti yang kerap dikisahkan guru SD atau simbahmu, kau tahu bahwa Prabu Watugunung adalah anak yang tak sengaja menikahi ibunya Dewi Sinta (berbeda dengan Dewi Sinta Ramayana), lalu bertikai dan terciptalah pawukon yang adalah sistem penanda waktu. Sementara itu, jelas kau tahu soal Murwakala yang berkisah tentang kelahiran sang raksasa penguasa waktu alias Kala, dari air mani Dewa Siwa (dalam versi lain Bathara Guru) yang menetes di laut secara tak sengaja setelah ditolak Umayi. Kala akan memakan anak manusia sukerta yang belum diruwat. Sementara Sudamala, adalah kisah penantian Durga untuk diruwat atau disucikan oleh Sadewa sehingga kembali menjadi Dewi Umayi.
Meski samar, kau mulai menemukan benang merah dari ketiganya.
Di panggung kau lihat tiga mitos itu dibongkar sekaligus melebur jadi satu. Dewi Sinta, Umayi, Durga, Siwa, Kala, bergerak dalam lintasan waktu yang kacau. Melompat-lompat, menyaru bersama NPC (Non Player Character) yang futuristik, lalu kembali ke jaman purwa (ditandai dengan panggilan “Bhre”). Dialog berkelindan dengan puisi, indah meski nyaris tak membantumu menemukan narasi tunggal apapun. Persetan linimasamu yang linear itu!
Kekacauan linimasa ini dalam lapis tertentu seperti sindiran buatmu yang lupa, bahwa dalam berbagai tradisi kuno waktu disikapi sebagai siklus yang memutar alih-alih garis lurus yang punya awal dan akhir. DI hadapan WBRyT, kau dan pikiran modernmu tiba-tiba terasing.
Dalam sebuah catatan pengantar, Yudi Ahmad Tajudin, sutradara WBRyT menulis tafsirnya sendiri soal sukerta. Jika dalam tradisi Jawa sukerta adalah manusia yang lahir membawa nasib buruk sehingga jadi makanan raksasa Kala, Yudi menafsir sukerta sebagai situasi (a state of) disorientasi ruang-waktu. Sensasi kehilangan arah dan gimmick game controller yang sempat dimainkan penonton di sebelahmu tentu adalah sinyal jelas bahwa WBRyT juga menunjukmu sebagai salah satu pemain dalam pentas ini. Kau juga termasuk sukerta.
Celakalah kau, Syiwa!
Celakalah dirimu karena mengenalku.
Celakalah kalian karena menurutinya.
Bentuk ini juga mengingatkanmu tentang fakta bahwa Sang Waktu adalah hal yang secara terus-menerus mendefinisikan dirinya, menjadi tiap zaman yang khas dengan ini dan itu. Kadang ia hati-hati, tapi lebih sering ia ceroboh dan menimbulkan celaka. Di atas panggung miring itu misalnya, kau lihat Kala kelaparan sebab dapur ibunya ia acak-acak. Lantas di adegan lain di meja makan sambil berulang-ulang tergelincir ke bawah, Kala sibuk menjejalkan makanan juga konsep-konsep asing dari dua tamunya. Barangkali dua tamu itu bernama Kolonialisme dan Modernitas.
“Sorekara?”
“Revolusi industri,” Kala melahap rakus
“Apa lagi?”
“Plastik, cerobong asap, karbon monoksida”
“Sorekara?”
“Aku ingin memakai pakaianmu,” matanya memandang penuh nafsu.
Aduh Kala, anak nakal, kenapa kau malah menelan celaka?—batinmu, yang tiba-tiba merasa terhubung dengan Dewi Sinta, juga Umayi, dan Durga, di kursi penonton.
Dekolonialisasi Dimulai dari Dapur Ibumu
Tak seperti di dongeng-dongeng yang jadi pijakannya, kau senang melihat fragmen-fragmen adegan di WBRyT yang menunjukkan perempuan-perempuan ini sebagai sosok-sosok yang bersuara dan menggugat. Durga di panggung ini adalah Durga yang murka, tak hanya karena ia dikutuk oleh Siwa yang gagal bercinta dengannya, tapi juga karena Kala atau sang waktu telah mewujudkan dirinya sebagai bencana yang membakar rumahnya, merusak alam raya.
Adegan-adegan berlatar dapur juga menggelitikmu. Dalam pandangan masyarakatmu yang maskulin itu, dapur (tentu dibarengi sumur dan kasur) merupakan simbol tugas domestik yang dilekatkan pada perempuan dan dipinggirkan. Di rumahmu dapur juga biasanya ada di belakang, disembunyikan. Tapi sesungguhnya ini bukan hanya tentang arsitektur rumahmu, tapi juga tatanan dunia. Sementara ibumu dan perempuan-perempuan lain tak didengar suaranya, para laki-laki, Kala, dan tamu-tamu asing yang duduk di ruang tamu bertindak seolah-olah paling tahu. Mereka menamai segala sesuatu, membuat aturan, dan menentukan seperti apa rumah harus dikelola.
Rumah sekilas rapi, tapi rapuh. Dan kau tahu, rumah tanpa kuasa ibu adalah rumah yang mudah terbakar.
Dalam konteks ini, rumah yang terbakar digunakan WBRyT untuk mengandaikan bumi yang sedang diambang bencana ekologis tak terhindarkan, akibat gerak destruktif terhadap alam yang dimotori kolonialisme, glorifikasi modernitas, dan patriarki.
Kau merasa hangat melihat Dewi Sinta, Umayi, dan Durga ramai berdiskusi di dapur dan sofa ruang tamu. Di panggung ini dapur disorot sebagai ruang sentral, dimana makanan dan pengetahuan diciptakan dan dipelihara. Mereka bersuara dan menyiapkan rencana. Sambil memotong sayur, menjajal riasan, dan haha-hihi santai, mereka juga bicara soal politik, ekonomi, masalah sosial, pergolakan zaman, bahkan revolusi.
Mereka mengingatkanmu pada sosok Sukinah dan ibu-ibu Kendeng, Mama Aleta Baun di NTT, Greta Thunberg dan demo-demonya, Alessandra Munduruku di Amazon, kau ingat Vandana Shiva di India, kau ingat ibu-ibu pemeluk pohon di Chipko Movement, kau ingat Ibu Diah Widuretno sekolah Pagesangan, kau ingat ibu-ibu penjaga hutan di Leuser, kau ingat ibumu.
Dalam kepalamu, kau menghubungkan para karakter perempuan di WBRyT dengan kerja-kerja para aktivis perempuan yang nyaris tak pernah untuk mereka sendiri. Dalam gerakan ekofeminisme, alam dan perempuan menemukan benang merah berupa perasaan senasib, alasan untuk sama-sama memperjuangkan hak-hak hidup, merawat, mekar, dan menjadi lestari dengan penuh cinta.
Meski tentu, perjuangan mereka tak mudah.
Bisa kau lihat sendiri, di salah satu adegan ketika perempuan dalam gaun pink yang sedang lantang membawakan kuliah soal politik pangan terus direcoki laki-laki yang berisik minta makan. Sebuah potret akurat tentang bagaimana perjuangan aktivis perempuan selalu ditantang dan dibebani banyak persoalan. Teks yang dibacakan perempuan itu merupakan. potongan teks wawancara feminis kawakan Silvia Federici soal transisi kapitalisme yang menghancurkan agensi perempuan terhadap kekuatan sosial, ekonomi, serta politik pangan. Ia yang kewalahan menghadapi si anak rewel, akhirnya menempeleng si anak dengan centong dalam genggaman. Seperti Dewi Sinta yang memukul Prabu Watugunung kecil, peristiwa kunci dalam hikayat penciptaan waktu. Sejurus kemudian panggung berubah bidang-bidang berlaser hijau, seperti bug dalam gim, seperti ruang kosong, kembali ke permulaan segala sesuatu. Kau tersentak dan adegan ini terputar berhari-hari dalam kepalamu.
Mungkinkah kau dan para ibu mendefinisikan waktu dari titik awal kembali?
Perempuan adalah Korban Pertama Bencana Ekologi
Dalam fragmen lain kau lihat, para perempuan Dewi Sinta, Umayi, dan Durga menjadi murka di panggung. Dan mungkin kau ingin mengerti kenapa para perempuan itu jadi pihak yang paling berduka dan paling murka atas bencana ekologi yang dibawa Kala?
Kemurkaan mereka masuk akal belaka. Sebab perempuan dan anak-anak adalah pihak yang paling rentan dan menanggung paling banyak kerugian akibat bencana dan krisis iklim yang hari-hari ini kian nyata. Hal ini bukan mitos. Dilansir dari DW, penelitian terbaru oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) menunjukkan dampak perubahan iklim dan degradasi lingkungan berdampak langsung. terhadap peningkatan kekerasan dan diskriminasi berbasis gender.
Hal ini terjadi karena sistem patriarkal membatasi akses perempuan kepada lahan, produk sumber daya alam, layanan publik, modal, dan teknologi. Perempuan juga diabaikan dalam pengambilan keputusan dan tidak dilibatkan dalam distribusi manajemen pemanfaatan lingkungan. Ketika situasi memburuk karena bencana atau konflik, perempuan juga jadi korban dari eskalasi kekerasan di lingkungan maupun kekerasan sistemik lainnya. Konsekuensinya, perempuan lebih rentan saat berhadapan dengan krisis iklim. International Panel on Climate Change (IPCC) bahkan punya persetujuan bersama untuk menjamin dukungan terhadap perempuan selama situasi buruk yang disebabkan oleh krisis iklim.
Saat ini, sebanyak 70% dari 1,3 milyar masyarakat yang hidup dalam kemiskinan adalah perempuan. Mereka dibebani tanggung jawab penyedian pangan keluarga, tapi akses terhadap lahan dibatasi. Perempuan kebanyakan hanya jadi buruh. Padahal penelitian oleh United Nation menunjukkan bahwa perempuan yang diberi akses mengelola pertanian rata-rata sanggup meningkatkan hasil panen 20-30%, dan bisa mengurangi angka kelaparan dunia hingga 12-17%.
Forest Digest juga merilis artikel tentang penelitian dari University of Oregon yang menunjukkan parlemen yang didominasi perempuan lebih sanggup menghasilkan undang-undang ramah-iklim. Tentu kita ingat bagaimana pengetahuan adat dan tradisi, soal keberagaman pangan, pendidikan kontekstual, politik benih, dan banyak gerakan lingkungan lain kini dimulai oleh banyak pemimpin perempuan.
Meski jadi pihak paling terdampak, pengetahuan dan keterhubungan perempuan terhadap bumi (dalam berbagai konteksnya) sebenarnya merupakan kunci utama umat manusia untuk menanggulangi degradasi ekologi dan paling tidak menanggulangi berbagai perasaan sedih yang muncul karena merasakan alam yang rusak.
Barangkali, karena itu juga, di babak terakhirnya Dewi Sinta, Umayi, Durga, dan para perempuan di panggung menyulap WBRyT jadi ritual ruwat . Sebab merekalah yang kini patut menyandang gelar dalang kandhabuwana, alias dalang ruwat.
Kita Semua adalah Sukerta dan Karenanya Kita Musti Diruwat
Dalam proses ruwatan Murwakala tradisi pewayangan Jawa, salah satu adegan kuncinya adalah ketika dalang meluluhkan kekuatan sang Kala sambil menyebutkan daftar satu per satu nama anak-anak sukerta. Nama yang sudah disebut, telah didaku menjadi anak sang dalang dan karenanya selamat terbebas dari daftar menu makanan raksasa Kala.
Di bagian akhir pertunjukan, dalam hipnotis Kala yang membuat zaman kehilangan arah ini, teater ini menunjukkan adegan kuncinya yang paling gamblang: sebuah ruwatan kontemporer.
Ruwatan untuk mengembalikan orientasi kita terhadap ruang dan waktu. Itu kesimpulan paling sederhana yang kau dapat. Sebab kesimpulan lain dalam kepalamu berbunyi, teater eksperimental ini kelewat ruwet untuk tujuan yang mereka tulis di pengantar yaitu soal perluasan kesadaran terhadap duka ekologis. Kau tak yakin orang-orang mau bersusah payah memahaminya, paling-paling mengunggah nukilannya di story Instagram lalu berakhir doom-scrolling nonton tiktok. Namun tentu saja sebagai sebuah pencapaian eksplorasi estetik, kau berhasil dibuat terpana.
Malam itu, menghadap ke jejeran bangku penonton, para ibu yang kini dalang kandhabuwana menutup pertunjukan dengan membacakan mantra berlanjut daftar panjang berisi golongan orang-orang sukerta dan mulai melakukan ritual ruwatan.
Daftar Sukerta Rumah yang Terbakar:
Orang buang sampah sembarangan
Orang buang sampah pada tempatnya
Orang buang badan
Orang menyebrang jalan sembarangan
Orang menyebrang jalan pada tempatnya
Orang menyebrang jalan tak lihat kanan kiri
Orang menyebrang jalan sambil liat handphone
Orang, sembarang orang
Orang makan pakai sendok
Orang makan pakai tangan
Orang makan pakai makanan orang lain
Orang makan binatang curian
Orang makan tumbuhan curian
Orang makan binatang
Orang makan tumbuhan
Orang makan orang
Orang orang sembarang
Orang kerja serampangan
Orang kerja teratur
Orang kerja di pabrik
Orang kerja di pasar
Orang kerja di rumah
Orang tidak kerja
Orang belajar di sekolah
Orang belajar di rumah
Orang belajar kerja
Orang tidak belajar
Orang suruhan
Orang pimpinan
Orang yang bekerja di kelompok kolektif yang mengaku egaliterian
Anggota partai politik
Anggota forum keagamaan
Anggota forum sekuler
Bukan anggota forum keagamaan
Bukan anggota forum sekuler
Orang, sembarang, asal orang
Orang berjalan bersama kerumunan
Orang berdiri di tengah kerumunan yang berjalan
Orang menari di tengah kerumunan yang berjalan
Orang yang menghindari kerumunan
Orang disimpan
Orang dibuang
Orang di tumpukan
Orang di dunia online
Orang di dunia offline
Orang ramai-ramai
Orang sendirian
Orang, sembarang, asal orang
Orang main teater
Orang nonton teater
Orang, asal orang, sembarang orang
Kau mulai menghitung, ada berapa kriteria yang cocok dengan dirimu–diriku.
…
Lampu panggung mati, lalu terdengar
Orang dalam kegelapan
Lalu sekejap kemudian Majelis Lidah Berduri meraungkan intro lagu “Cahaya, Harga” dan kau terkesiap, sebuah penutup yang menohok dan megah.
Di tengah duka dan murka mereka terhadap rumah yang terbakar berbagai bencana, Dewi Sinta, Umayi, dan Durga, menunjuk semua orang, menunjukmu, dan kita semua sebagai pihak yang turut andil dalam menyulut api kebakaran. Setelah diingatkan bahwa kita juga merupakan sukerta atau orang yang tersesat dalam ruang dan waktu, ruwatan ini serupa usaha untuk mengembalikan nalar dan rasa kita, memetakan kembali posisi kita dalam gerak zaman.
Dan jika ada satu hal yang kita bawa pulang paska menonton WBRyT, maka itu seharusnya adalah sebuah pertanyaan: Apa andilku dalam rumah yang terbakar ini? Dan dengan cara apa aku bisa memadamkannya?